Yvan Saepudin

“… Sebenarnya dari dulu aku ingin menulis ini. Menulis sesuatu yang sangat penting sekali.

Sesuatu yang belum pernah di perdengarkan oleh angin kepada awan sebelum menjadi hujan, oleh kayu kepada api sebelum menjadi abu, oleh aku ke kamu sebelum akhirnya kita berseteru berpindah rasa dari cinta menjadi benci, oleh ajal kepada jasad sebelum akhirnya maut merenggut dan mendesakkan pada sebuah keyakinan baru bahwa akhirat itu ada, bahwa Tuhan itu ada, bahwa Kiamat itu ada, bahwa Sholat itu ada gunanya. Namun dengan pongah, kita tetap saja tidak percaya.

Setelah semua itu, lantas kita meninggalkan hidup tanpa jejak, tanpa nama, tanpa karya, tanpa bekal, tanpa amal jariyah karena hidup hanya dijalani dengan biasa saja sembari meniadakan semua; karena hanya AKU lah Penghuni Surga dan yang lain sudah pasti Penghuni Neraka…”


[1]

Yvan Saepudin baru saja turun dari bis, setelah dua kali memberi amanat kepada sopir untuk menurunkannya di Terminal Pemalang. Di sepanjang perjalanan itu, akhirnya Yvan tidak bisa tidur, karena takut kebablasan seperti halnya enam bulan kemarin, ketika pertama kali ia menjejakkan kaki di tanah Jawa Tengah, Yvan kebablasan sampai Pekalongan. Jarak yang lumayan cukup jauh antara Pemalang dan Pekalongan.

Yvan bukan keledai. Maka ia bertekad untuk tidak mengulangi kekeliruan yang serupa. Tapi Yvan juga bukan kelelewar yang bisa menahan kantuk pada malam hari. Memang sewaktu masa-masa kuliah dulu, hampir tiap malam Yvan bisa begadang tapi semenjak bekerja, Yvan menjadi penganut fanatik lagu Begadang jilid Satu bang Haji Rhoma Irama.

Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, kalau ada perlunya.


Dengan ayat Begadang Jilid Satu itu posisi Yvan menjadi rumit; kalau tidur maka kemungkinan besar ia menjadi keledai, kebablasan sampai Pekalongan, tetapi juga ia tidak sanggup menjadi kelelewar untuk melek selama kurang lebih lima jam di bis, apalagi kondisi bis yang di tumpanginya itu sangat mendukung untuk tidur, lampunya di matikan. Sedap sekali. Tapi…

Yvan resah.

Akhirnya Yvan memilih untuk tidur, setelah mengalami perseteruan batin yang sengit antara dirinya sebagai keledai, kelelewar dan pengikut Rhoma Irama. Wal hasil, Yvan menggunakan akal pikirannya, karena Yvan adalah manusia. Yvan lantas meminta ke sopir sekaligus kernet untuk menurunkannya di Terminal Pemalang.

Tapi, setelah melakukan persiapan itu, Yvan masih ragu, “ah, bagaimana kalau sopir sama kernetnya lupa? Dulu juga seperti itu” gumam Yvan.

“ah… mereka tidak bisa diandalkan! Apa mereka akan ingat? Mungkin di depanku saja mereka bersungut-sungut akan membangunkanku, tapi setelah itu mereka akan lupa. Memikirkan urusannya masing-masing. Apa mungkin sopir itu akan ingat bahwa ada salah satu penumpang-nya minta di turunkan di Pemalang setelah melewati jarak yang sekian jauh? Hmmm. Aku ragu? Ahh.. Begitu juga kernet nya, pasti dia akan lupa”.

Lantas, Yvan melirik kernet yang terus bolak balik ke depan ke belakang. Yvan menatap kernet itu, sedangkan kernet itu tidak tahu kalau Yvan terus menyidik-nyidiknya.

“huu… wajahnya juga tidak meyakinkan. Dia tidak bisa di percaya. Apalagi kernet sama sopirnya tidak punya hubungan apa-apa denganku? Paling seperti dulu lagi, pas aku bangun. Sopir itu dengan innocent bilang; ‘wah mas ini sudah nyampe Pekalongan, padahal tadi kita berhenti lama di Terminal Pemalang’. Paling bilang gitu. Trus tanpa tedeng aling-aling menurunkanku di tengah jalan dengan memberi wejangan; ‘hati-hati mas disini, banyak copetnya’. Baik sekali. Pas turun tentu saja aku jadi parno, semua orang di mataku menjadi copet. Wahhhh…! Aku gak mau mengulangi mimpi buruk itu”.

Yvan tidak kehabisan akal, setelah kepercayaannya tumbang kepada orang-orang, ia beralih kepada barang, yakni telepon selular atau hape. Akhirnya Yvan kepikiran buat memasang alarm di telepon selularnya, jadi ketika alarm berbunyi itu berarti sudah dekat dengan tempat tujuannya. Yvan tidak akan kebablasan.

Yvan tersenyum, “pikiran yang cerdik” gumam Yvan pada diri sendiri.

Tapi sialnya, setelah ia rogoh saku celana, Yvan lihat batere telepon selularnya habis. Hapenya mati. Yvan lupa, kalau telepon seluarnya itu belum di charge. Sudah tidak aktif dari tadi. Dengan spontan Yvan menepak dahinya, dan berkata “oiya! Kenapa aku bisa lupa?”

Untunglah orang yang di sebelah Yvan sedang tidur, jadi orang itu tidak sempat memperhatikan tingkah konyol Yvan Saepudin ini. Yvan sudah nyaris kehabisan akal. Yvan mengalah pada keadaan. Pasrah. Berserah diri pada nasib. Mau tidak mau akhirnya Yvan mengantungkan kehidupannya pada sopir dan kernet itu, sekalipun Yvan tidak percaya.

Yvan pun tidur, dan sebelum tidur Yvan berdo’a; “ya Tuhan, bangunkan aku di Terminal Pemalang”


[2]

“mas-mas… ini sudah nyampe Terminal Pemalang” ucap kernet sembari mengguncang-guncangkan badan Yvan.

Mata Yvan terbuka. Di hadapan Yvan sudah ada laki-laki, hitam, bau keringat, berbadan besar,kereng mirip temannya Russel Crow di Film Galdiator. Lelaki itu memakai seragam. Ingat pada do’anya sebelum tidur, lantas Yvan pun berpikir, “kok Tuhan jelek amat?”.

Setelah Yvan sidik-sidik, ternyata itu bukan Tuhan. Lelaki itu adalah kernet bis yang menurut terawangan Yvan dari wajahnya, dia tidak bisa dipercaya. Ternyata kernet itu bisa di percaya juga. Sekarang Yvan malah berpikir, bahwa Tuhan-lah yang tidak bisa dipercaya.

“oh dah sampai ya?” jawab Yvan sembari bangun dari duduknya dan turun.

Setelah turun, Yvan dikerubungi oleh tukang becak. Selayak artis yang menghindari para wartawan, seperti itu pula Yvan meninggalkan tukang becak. Tapi ada satu tukang becak yang terus mengikutinya, berjalan di sampingnya seperti malaikat Rokib dan Atid.

“Basa Putra mas, pinten?” tanya Yvan.
“sedoso ewu” jawab tukang becak.
“pitu ewu” tawar Yvan.
“yo wis,,” jawab tukang becak

Yvan pun naik becak. Tukang becak juga sama. Bedanya Yvan di depan, tukang becak di belakang. Di sepanjang perjalananan menuju tempat tinggalnya di Pemalang, Yvan berpikir; tentang temannya yang ada di Sukabumi yang bertengkar dengan temannya yang baru pulang dari Sudan.

Menurut Yvan masalahnya sepele, cuma tidak di “konfirm” permintaan pertemanan di facebook, teman Yvan yang ada di Sukabumi murka kepada teman yang baru pulang dari Sudan itu. Namun, bagi teman Yvan yang ada di Sukabumi, itu bukan masalah sepele. Itu masalah harga diri.

Yvan tak habis pikir, padahal mereka sudah ‘berteman’ jauh-jauh hari sebelum ada jejaring sosial yang bernama Facebook itu. Mereka berdua, adalah teman Yvan sewaktu pesantren dulu.

“sakit van!” jerit Paulina, teman Yvan yang ada di Sukabumi itu, ketika menelpon.

“tenang dulu, Lin, mungkin saja si Ahmed belum ada waktu buat buka pesbuk-nya” jawab Yvan menenangkan.

“ah, gak ada waktu gimana? Gak mungkin, dia juga bikin status, ngomen status orang lain, bahkan berteman dengan yang lain” Paulina ngotot, yakin dengan argumennya.

“ya, mungkin saja… emang gimana sih kronologi ceritanya, sampe kamu mual banget ama si Ahmed?”

“jadi gini van, dulu itu aku kan aneh, kok status si Ahmed gak nongol-nongol di dinding aku. Padahal dilihat dari relasi pertemanan; ‘anda sudah terhubung’, katanya. Trus aku coba delet dulu dari pertemanan, karena kata temenku, efbe sekarang sering eror. Eh sampe sekarang belum di konfirm juga?”

“tapi kamu Lin, gak bilang ke si Ahmed, bahwa kamu nge-delet dulu pertemanannya?”
“gak”
“ya pantes aja, …”
“Tapi kan Van? Tanda permintaan pertemanan di pesbuk itu kan gak kecil?! Masa dia gak liat?”
“iya sih… cuman,…”

Yvan tahu, perkaranya bukan masalah ‘konfirm’ atau ‘ignore’ pertemanan di facebook saja, melainkan lebih dari itu yakni masalah asmara.

Jadi ceritanya Paulina pernah menyatakan cinta ke Ahmed, terus Ahmed, yang waktu itu masih ada di Sudan, menolaknya dengan halus. Paulina menerimanya, sekalipun sebelumnya melewati masa-masa sakit hati yang sangat. Setelah Paulina sembuh, komunikasi diantara mereka kembali terjalin, hingga Paulina merasa ada yang erorr dengan facebook-nya.

“hebat sekali facebook ini” gumam Yvan merenung.

Memikirkan kejadian Paulina dan Ahmed ini, lantas Yvan jadi teringat dengan kejadian di toko sore hari.

Waktu itu Yvan sedang serius-seriusnya makan. Patut di ketahui, di dunia ini ada dua aktivitas yang Yvan melakukannya dengan sangat serius yaitu makan dan tidur. Biasanya Yvan tak bisa di ganggu ketika sedang melakukan kedua aktivitas sakral itu. Namun sayang, karyawannya belum tahu kebiasaannya itu, dia malah nyelonong masuk dan bilang, “pa ngapuntene, ada yang mau bertemu dengan bapak?” ucapnya.

Sontak Yvan kaget, karena sepengetahuannya tak ada satupun orang yang dikenalnya di kota ini.

“Ada orang yang ingin bertemu dengan saya?” Yvan berbalik tanya.
“njih pa,”
“sinten?”
“mboten ngertos, katanya orang pekalongan?”

Yvan serta merta berhenti dari makannya. Karena dalam pikiran Yvan salah satu alasan mengapa orang mau bertemu dengan dirinya di kota ini, pasti terkait dengan pekerjaan. Maka Yvan langsung loncat ke depan. Di dalam toko sudah ada dua orang yang sama sekali tidak di kenalnya. Mereka masih muda, setelan anak muda, laki-laki dan seorang perempuan.

Yvan cuma melohok dan tersenyum, mereka berdua asing di mata Yvan. Tamu laki-laki lantas mengajak Yvan salaman, tentu saja Yvan menyambutnya dengan hangat. Masih merasa asing satu sama lain. Akhirnya tamu laki-laki memanggil Yvan dengan “Godot”.

Teryata kedua orang itu adalah seseorang yang dikenal Yvan lewat jejaring sosial bernama facebook, kedua orang itu adalah Ezha Si heboh dan Mahakarya Ayah Bunda. Selama ini Yvan hanya mengenalnya lewat monitor.


[3]

Mengingat dua kejadian itu, Yvan jadi kepikiran dengan salah satu komen temannya yang ada di facebook pula, namanya Mang Oyon Cuang Cieung, begini komentarnya

; siapa yang berpikir bahwa ada batas-batas antara dunia dengan identitas nyata dan maya? Sehingga menghasilkan sebuah ketidakmungkinan kejadian.


“tentu saja”, gumam Yvan dalam pikirannya,

“siapa yang berpikir? Siapa yang menjamin bahwa ada batas-batas antara dunia dengan identitas nyata dan maya? Apa yang disebut maya? Mana yang disebut nyata?”

Yvan bingung. Selama ini ia berpikir bahwa dunia internet, dunia segi empat yang ada di layar kaca monitor itu, terkhusus jejaring sosial bernama Facebook tidak lebih hanya permainan belaka, maka Yvan tidak pernah menempelkan atribut “asli” yang sesuai dengan kenyataan, yang dialaminya sehari-hari. Tetapi dengan datangnya dua orang asing pada sore hari itu yang sengaja menemuinya, keyakinan Yvan lamat-lamat sekarat.

“dunia yang ada di layar kaca itu menyimpang juga ke dunia nyata? Bisa ya?” gumam Yvan tersenyum.

“ya bisa saja, soalnya dunia yang ada di layar kaca itu ‘kan di bangun, yang mana bahan-bahannya ada di dunia nyata? Jadi memang benar kata temanku Oyon itu, bahwa tidak ada batas antara dunia dengan identitas nyata dan maya? Jadi, semuanya nyata!” tegas Yvan seperti mendapatkan pencerahan.

Tetapi sepersekian detik kemudian pikiran Yvan kembali berubah,
“atau mungkin semuanya maya?” Yvan kembali ragu. Mendapati persoalan pelik ini, Yvan mendadak ingat materi kuliah yang dulu-dulu tentang Descartes mengenai Clear and Distinct. Tapi Yvan seperti semamput untuk sekedar mengingatnya saja. Pikirannya seperti tak kuat untuk berpikir seperti itu lagi.

Yvan terkekeh sendiri. Pikirannya kembali ke dunia nyata. Ia menatap malam yang sangat luas. Luas sekali. Tetapi sepi, yang ia dapati hanya toko-toko yang berjejer, seperti kuburan.

“pundi mas?” tanya tukang becak itu. Memecah kesunyian.

“niku mas…” jawab Yvan tersadar dari lamunannya, sembari menunjuk ke sebuah toko yang ada di seberang jalan. Becak itu lantas menyebrang. Yvan turun, kemudian merogoh saku celana. Ia keluarkan uang sepuluh ribuan.

“tidak ada kembalian mas” jawab tukang becak itu. “ada juga seribu”.

Yvan mencari-cari di celananya, barang kali ada recehan, tetapi nihil. “Kalau begini ceritanya, tadi tak usah nawar dulu” pikir Yvan.

“yo wiss, mas, mboten nopo-nopo, ambil aja” jawab Yvan, yang sudah kecapean.


[4]

Yvan membaringkan dirinya di atas kasur, di ruangan itu. Sendirian.

“ah hidup…” gumam Yvan pada dirinya sendiri. “hanya sebatas makan martabak, setelah itu minum kopi, kenyang dan tidur, tidak lebih, tidak kurang.”

Yvan merenung, “Tapi ada yang bisa bikin hidup lebih hidup, ehmmm… ” gumam Yvan berseri sembari menyalakan komputernya. Yvan kemudian menulis.

“Hmmm. Nulis apa ya? Rasanya bosen menulis cerita…” gumam Yvan.

Inilah yang ditulis Yvan malam itu

“Behind The Godot ; Catatan dari Sang Admin”.

“… Sebenarnya dari dulu aku ingin menulis ini. Menulis sesuatu yang sangat penting sekali.

Sesuatu yang belum pernah di perdengarkan oleh angin kepada awan sebelum menjadi hujan, oleh kayu kepada api sebelum menjadi abu, oleh aku ke kamu sebelum akhirnya kita berseteru berpindah rasa dari cinta menjadi benci, oleh ajal kepada jasad sebelum akhirnya maut merenggut dan mendesakkan pada sebuah keyakinan baru bahwa akhirat itu ada, bahwa Tuhan itu ada, bahwa Kiamat itu ada, bahwa Sholat itu ada gunanya. Namun dengan pongah, kita tetap saja tidak percaya.

Setelah semua itu, lantas kita meninggalkan hidup tanpa jejak, tanpa nama, tanpa karya, tanpa bekal, tanpa amal jariyah karena hidup hanya dijalani dengan biasa saja sembari meniadakan semua; karena hanya AKU lah Penghuni Surga dan yang lain sudah pasti Penghuni Neraka…

Aku ingin mengucapkan terimakasih pada kalian, atas pengalaman dan interaksi yang cukup membahagiakanku selama ini. Aku tahu, kamu tidak mengenal aku, begitu juga aku tidak berniat untuk mengenal kamu. Aku dan kamu di pertemukan oleh satu perantara yang dinamakan aksara. Dan aksara itu bisa menjadi apa saja. Tapi menurutku cukup begini saja; tidak usah di bikin apa-apa. Terimakasih pada semuanya…”

0 komentar:

Posting Komentar