Pengalaman Sprituil


INFAQ DI AL ZAYTUN

Kejadian ini sudah terjadi beberapa tahun silam sih, cuman saya pengen membagikannya saja pada kalian, siapa tahu bisa dipetik pelajarannya. Ini kisah nyata, based on true story, saya yang mengalaminya.

Ketika itu pesantren kami hendak melakukan studi tour ke pesantren al Zaytun. Itu Ma’had Al-Zaytun, pondok pesantren modern yang sudah berskala internasional. Nah pergilah kita-kita ke sana, kami memang banyak belajar disana, mulai dari fasilitas yang serba komplit, santri-santri yang rapi-rapi, keren-keren, jangkung-jangkung, tidak seperti kami yang kuleuheu, kucel, tapi tetap menyimpan optimisme membangun peradaban yang tinggi (mode anak-anak Laskar Pelangi On). Semangaaaat!

Di pesantren al Zaytun mie instan, itu dianggap narkoba. Maksudnya makanan berbahaya.  Santri-santri disana jarang makan mie instan. Beda dengan kami, yang menjadikan mie instan sebagai makanan yang paling penting kedua setelah nasi, terkusus saya. Prinsip kami memang bukan makanan bergizi, tapi ber-isi! Yang penting wareug (kenyang).

Nah setelah kami diajak berkeling-keliling ke semua pelosok pesantren. Akhirnya kita di ajak ke sebuah mesjid yang belum jadi. Dan di mesjid yang belum jadi itulah pengalaman sprituil saya berlangsung, sang guide, meminta kami untuk mendoakan supaya mesjid ini cepat selesai. Maka beriunglah kita semua membentuk sebuah lingkaran.

Dan betapa tidak disangka, setelah ritual doa selesai, Guide itu berucap.

“Kami juga memohon bantuan dana seikhlasnya…”

Hahahah. Saya pribadi kaget. Suganteh moal menta sumbangan? Eh, ternyata Guide itu serius. Torojol orang yang di sebelah Guide mengeluarkan sebuah kantong keresek hitam. Semua-mua dari kami celingukan.

Teman saya Rohman yang sedang memegang handy cam, langsung pura-pura men-shoot gambar di sekitar. Eh si Abdul saruana, langsung jepret sana-jepret sini.

Nah saya beserta semua yang masih berdiri di lingkaran berada dalam marabahaya. Kadar, teman yang tepat berdiri dipinggir kiri saya, berbisik “…nginjem duit sarebu”.  Sama saya langsung di kasih.

Eh ternyata saya tidak punya uang recehan lagi selain yang di kasih ke Kadar. Sementara keresek hitam itu terus melaju datang menghampiri saya. Rek teu mere, maenya? Asa era.

Saya terus merogoh saku celana kanan saya barangkali masih ada uang recehan, eh ternyata masih ada uang selembar. Ketika saya cek ternyata nominal uang itu dua puluh ribu. Dan sialnya, secara bertepatan ketika saya sudah melihat nominal uang itu keresek hitam sudah ada di hadapan saya.

Bapak yang ngurilingkeun keresek hitam itu kemudian tersenyum ramah di hadapanku, saya pun mau tidak mau memasukan uang dua puluh ribu itu ke keresek dengan pasrah. 

Yang paling menyakitkan adalah; pas pulang, di bis semua dari kami membicarakan kejadian itu, semua orang tidak menyangka kalau bakal di tarik sumbangan. Dan ketika saya menceritakan kejadian yang menimpa saya semua orang tertawa terbahak bahak.

Saya merutuk sendiri. 


_________________________________
; da teu nyangka bakal di penta sumbangan? Jeung kabeneran pas ngaluarkeun artos, keresek parantos di payuneun pisan, maenya eta duit ku urang kudu diasupkeun deui ka nu pesak? Duh aing meni kaduhung mere nginjeum duit ka si Kadar. Sigana urang pang badagna ka dua setelah pa Ayat, ceunah mah pa Ayat mere lima puluh rebu. Tapi urang curiga pa Ayat ge mengalami hal yang serupa seperti sayah. Wukakakaka.
Ah aing mah apes… sumpah lain teu ikhlas, ngan ikhlas urang keur harita mah nepi ka sarebu!  

0 komentar:

Posting Komentar