PEMENTASAN TEATER; PENYERANGAN [akan]LUPA"


Satu

Sejarah hidup manusia adalah tumpukan cerita tentang peperangan melawan lupa.

"Lupa kali pertama adalah 'lupa'nya Adam akan peringatan Tuhan untuk tidak memakan buah khuldi sehingga menjebloskannya ke bumi. Ritual lupa yang kerap kali manusia lakukan ini mendapatkan respon dari kerajaan langit, sehingga dengan 'sangat terpaksa' Tuhan mesti mengirim para utusannya ke bumi.

Utusan Tuhan yang mendapatkan tugas mengingatkan umat manusia sering disebut dengan nabi atau rasul. Tugas paling utama diutusnya nabi atau rasul adalah untuk mengingatkan bahwa Allahlah Tuhan satu cuma, tiada yang lain hanya Dia pengurus semesta.

Setelah para utusan wafat yang tertinggal hanyalah ajaran-ajarannya yang meski melalui perdebatan yang sangat sengit namun akhirnya dapat terdokumentasikan dalam buku yang sering kita sebut dengan kitab suci. Sepeninggal para utusan giliran kitab sucilah yang mengingatkan dan membimbing manusia bagaimana menjalani kehidupan ini. Namun sayangnya kitab ini tidak bisa bicara tanpa perantaraan manusia. Kitab suci adalah barang mati, layaknya sebuah buku, majalah, ensiklopedi dan kitab-kitab yang lainnya. Hanya kumpulan huruf-huruf yang berderet tanpa bias menyeret manusia kalau ada yang salah, yang tidak bisa bersuara, berteriak, menggeram, menerkam bahkan ada yang mau membakarnya sekalipun kitab diam bungkam. 

Menjadilah alim ulama, cerdik cendikia sebagai pewaris para nabi yang seakan-akan dikutuk untuk membaca, menterjemahkan, menafsir kitab suci supaya bisa mengingatkan manusia meneruskan tugas yang sudah menjadi tradisi para pengingat-pengingat terdahulu yang telah wafat.

Para pengingat kontemporer inilah yang sekarang mengganti shif bertugas menyentil, menjewer, menyubit, menjembel, membisik bahkan menggaplok manusia kalau keluar jalur dari apa yang dinamakan dengan jalan yang lurus. Para pengingat zaman sekarang tentunya berbeda jauh dengan utusan yang pertama kali datang. Tidak mempunyai garis koordinasi langsung dengan kerajaan langit makanya mereka tidak disebut dengan nabi atau rasul. Hanya manusia biasa. Misalnya saja besar mustahilnya seorang ulama kini mendapat jaminan [ma'shum] dari Tuhan sebagaimana yang telah diberikan kepada nabi Muhammad.

Tetapi dalam tradisi "ingat-mengingat" ini juga jangan disalah sempit artikan bahwa pengingatan hanya datang dari ulama dan cerdik cendikia sebab mereka bukanlah suatu institusi yang secara mutlak mendapatkan lisensi dari Tuhan untuk ngomong yang ini benar itu salah. Karena kita juga sering mendengar ucapan keluar dari ulama atau cendikiawan yang malah meresahkan umat. 

Lho, bukankah ulama, cerdik cendikia adalah pewaris para nabi? Iya kalau ulama, cendikiawannya bener nggak keblinger. Semacam polisilah, bukankah seharusnya tugasnya adalah menjaga keamanan masyarakat tapi tidak sedikit bukan yang mengeluarkan fatwa tilang di jalanan karena kantongnya kosong atau hanya sekedar pengen nunjukkin kekuasaannya. 

Logikanya, para pengingat ini adalah orang yang mempunyai kesadaran dan keawasan yang cukup diperhtungkan. Nah, kenapa ulama bisa menjadi pengingat, ya karena kemampuannya dalam menjala jalan spirtualitas, karena cendikiawan sudah bisa meneropong apa yang tidak bisa dipikirkan oleh orang awam. Tetapi karena pada dasarnya manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. 

Maka, secara esensial, tugas mengingatkan tidak hanya dibebankan kepada ulama atau cendikiawan saja. Siapapun orangnya mau itu tukang becak, mahasiswa, dokter, insinyur, seniman, bandar beras, tukang sandal, tukang cukur, PNS, Menteri. Mau itu buruh kepada majikan, majikan kepada buruhnya, anak kepada orang tua, orang tua kepada orang muda dan seterusnya. Sejatinya, semestinya dan seharusnya saling mengingatkan. Karena tugas kita adalah saling mengingatkan satu sama lain, saling menasehati satu sama lain. Bukankah itu yang diajarkan dalam kitab suci? Tugas ini dibebankan kepada setiap umat manusia untuk menjaga keharmonisan hidup, supaya manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi.

Ritual mengingatkan ini mendapat perwujudannya dalam berbagai macam ragam bentuk dan pola. Mahasiswa turun ke jalan berteriak melakukan demonstrasi. Ada yang naik mimbar membicarakan petuah-petuah ilahiah. Intelegensia mengambil jalan dengan menulis menusukkan, menyerang, memberedel dengan kata-kata. Seniman menginformasikan dengan cara membuat puisi, musik, dan pertunjukan. Walhasil, salah satu episode hidup adalah kumpulan cerita sejarah manusia yang melakukan penyerangan terhadap lupa.

Akhirnya, karena tangan hanya dua, tulisan ini akan memfokuskan diri terhadap pementasan teater sebagai proses melawan lupa kata lain dari upaya pencarian makna dan arti dalam pementasan teater dengan cara longgar dan sedikit liar. Kenapa longgar karena tidak memakai metode khusus tetapi memakai segala macam metode, maksudnya tulisan ini berusaha keluar dari kotak-kotak yang terpetak-petak dan sudah dipaten sehingga kotak satu dengan kotak yang lain tidak akan berhubungan, nah tulisan ini mencoba keluar dari kotak yang sempit itu menghirup udara dari luar. Tidak memakai satu kotak tetapi memakai semua kotak, itulah yang dinamakan longgar. Artinya liar, adalah serampangan seperti orang linglung merawel apa yang ada untuk mempertahankan, seperti orang yang tenggelam pegang apa saja asal selamat. Seperti itulah tulisan ini akan mencari maksud menggetar hendak berpadu dalam tindak.

Tulisan ini adalah salah satu ekspresi dari penonton dalam memahami pertunjukan teater atau seserang yang belajar bagaimana cara menyampaikan pesan kepada penonton. Mari kita henti sejenak berteriak dan sama jalan dalam tindak!

Dua

Membincang pementasan berarti membicarakan persoalan keteateran. Penyerangan pertunjukan teater yang dilakukan untuk melawan virus lupa yang ada dalam diri manusia adalah "mengingatkan kembali kepada dirinya". Mengingatkan bahwa dirinya adalah manusia. Manusia sekarang tersesat dalam dirinya sendiri sehingga oleh Fromm disebut sebagai gejala alienasi, manusia merasa asing terhadap dirinya sendiri. Maka tak heranlah jargon yang sering didengungkan dalam tradisi teater adalah memanusiakan manusia.

Pertanyaannya; memang sampai sekarang manusia belum menjadi manusia? Bukan belum menjadi manusia, tetapi cuma lupa saja kalau sebenarnya dia, kamu, mereka, aku, kita ini adalah manusia. Ya, kita kadang melupakan bahwa diri kita adalah manusia. Kumpulan jiwa dan raga, tubuh dan ruh, nalar dan rasa. Bukan yang lainnya.

Memang, sejatinya mereka adalah manusia kalau kita mengikuti logika Aristotelian. Tapi nyatanya mereka bukan atau belum manusia. Mereka atau kita kadang berubah menjadi burung beo yang hanya mampu membunyikan kata-kata kosong, hampa, tak dimengerti, tanpa arti, tanpa bisa menindakannya dalam kenyataan sehingga rencana-rencana yang dahulu dirapatkan sampai tengah malam hanya sebagai rutinitas ritual idealitas yang mesti digugurkan. Hanya untuk mengisi waktu luang. Hanya untuk menuliskannya di papan program supaya dilihat oleh orang yang datang. Biasanya burung beo ini hinggap di LSM-LSM, gedung-gedung DPR, calon Presiden, organisasi-organisasi kemahasiswaan, hinggap di rumah kita atau mungkin memang kita sendiri burung beo itu? 

Kadang kita menjadi tikus yang akan menggerogoti, menguras subsidi BBM atau apa saja yang dipercayakan untuk diurus dikelola kepada kita. Kenapa bisa begitu? Karena kitas sedang menjadi tikus bukan manusia. Sehingga kalau jeli, kita akan mendapatkan tikus-tikus memakai dasi, menggunakan sedan mewah atau kadang-kadang berobat ke luar negeri untuk menghindari terkaman kucing. Bahkan tikus itu kadang ada di rumah kita, sedang ngobrol dengan kita, tikus itu mungkin ayah kita, ibu kita, teman kita atau kita sendiri!

Begitulah, bisa menjadi apa saja rubah, serigala, macan, anjing, babi. Bukan merendahkan makhluk Tuhan yang lainnya. Tapi memang, bukankah kita makhluk Tuhan yang paling bagus dari makhluk yang lainnya, untuk menghindari kata sempurna. Kalau rubah sukanya menjilat ya itu karena dia binatang, kalau burung beo seperti itu ya karena dia hewan tidak dianugerahi akal pikiran. Tapi kita ini adalah manusia yang dianugerahi akal pikiran masa mungkin bertindak seperti layaknya binatang. Logikanya kalau anjing kencing dimana saja tidak akan ada yang mengutuk, tetapi coba kalau manusia kencing di mana saja?

Kadang kalau tidak berubah jadi hewan bisa mewujud dalam bentuk lain misalnya system, gagasan, pikiran sehingga tindakannya rigid, mekanik tanpa bisa memperhitungkan bahwa dalam dirinya ada potensi yang lain yaitu rasa. Kadang kita tega berbuat jahat, mengkhianati, menyakiti seakan-akan kita tidak akan sakit kalau dikhianati, dibohongi.

Tapi bukankah kitab suci juga bilang kalau kita itu memang sudah ada potensi untuk jahat? Iya tapi 'kan prinsip itu tidak lekas serta-merta menjadi legitimasi sehingga kita sah untuk melakukan kejahatan. Mungkin maksudnya adalah agar kita bisa toleransi. Begini, kalau ada orang yang berbuat jahat kepada, dengan prinsip ini dimaksudkan, kita tidak dengan cepat menghukumi bahwa dia salah. Dengan alasan kita juga tidak selamanya akan benar toh, tidak selamanya berbuat baik bukan?. Adakalanya kita lepas control menabok orang lain. Nah, dalam keadaan itu apa yang kita harapkan? Kita mengakui bahwa kita berbuat salah tetapi coba kalau orang lain tidak memahami akan tindakan kita? Pertama kita sudah salah eh kemudian orang lain tidak menoleransi, tidak mau paham, malah mengutuk lagi. Prinsip itu sekiranya mau memahamkan kepada kita bahwa toleransi itu penting. 

Maka disinilah inti ajaran kemanusiaan yang pertama mesti diingatkan; coba untuk memahami orang lain dengan jalan memahami diri sendiri. Bukankah ini senda dengan apa yang dikatakan oleh kitab suci barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhan. Karena orang lain adalah manusia, kita juga sama. Lantas apa yang beda?

Dalam kondisi lose control maka harus ada sebagian manusia yang tidak lupa, harus ada sebagian manusia yang sadar, yang awas, yang nyalang akan dirinya. Yang akan mengingatkan.

Setidaknya, selain ulama-cerdik cendikia, kita juga bisa menggolongkan seniman kejajaran yang awas. Salah satu jalan seniman untuk mengingatkan orang-orang yang lupa akan kemanusiaannya bisa dengan membuat lantunan musik; Mozart, Beethoven, Chopin hingga sekarang. Atau dengan jalan membuat puisi-sajak; Rendra, Chairil Anwar, Situr Situmorang, Masmann, M Rilke,Subagio Sastrowardoyo dan lainnya; membuat cerpen; Tolstoy, Dostoyevsky, Maxim Gorky, Anton Chekov, Pramoedya Ananta Toer dan lainnya; atau drama; Utuy Tatang Sontani, Samuel Beckett, Goethe, Shakespeare dan lainnya.

Pengingatan semua karya seni itu terkristalisasi dalam pesan-pesan yang sarat dengan nilai-nilai moral bisa politik, social, budaya atau hanya sekadar lenguhan kemanusiaan yang terbungkam oleh orde politik.

Semua kotak-kotak kesenian itu bisa didapatkan dalam satu galleri yaitu teater. Dimana semuanya terkumpul, tentunya dengan kesepakatan pembicaraan kita diawal. Mulai dari puisi, musik, tari, kisah, gagasan, opini, pemberontakan bisa tersalurkan dalam satu pagelaran.

Dalam teater dalam hal ini bisa sutradara, actor dan seluruh kru yang terlibat diajarkan atau dimestikan untuk bisa memahami manusia lainnya yang bisa saja itu jauh sekali dengan kehidupan kesehariannya atau malah mungkin tokoh itu memang tidak ada dalam nyatanya.

Prosesi ini aktor akan dituntut untuk memahami tokoh yang akan dimainkannya dengan jalan menyelami pribadi si tokoh. Otomatis tidak hanya perasaan dan pikirannya tetapi bagaimana dia bertindak, bagaimana dia bertutur, bahkan sampai dengan hal yang kecil bagaimana dia kentut, bersin. Akhirnya bagaimana dengan sebisa mungkin untuk mempribadi dengan tokoh yang akan kita perankan.

Misalnya, seorang actor diberikan peran sebagai seorang tokoh dengan mempunyai karakter pembohong, penjilat. Pertama-tama aktor akan belajar berbohong, menjilat bahkan mengkhianat. Sehingga dengan kata lain bagaimana rasanya orang yang berbohong, bagaimana pikirannya orang yang suka menjilat. Kenapa bisa berbuat begitu, untuk apa dan seterusnya.

Dengan kata lain, si aktor yang kalaupun mempunyai watak yang sangat berbeda dengan peran yang dimainkannya akan merenungkan dan mengetahui bagaimana penjilat itu sebenarnya. Sehingga akan timbul prinsip lain kemanusiaan; perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. 

Ingat lain yang hendak disampaikan dalam pementasan, bisa berwujud dalam proses penggarapan naskah. Kata seorang teman, yang paling asyik dalam pementasan adalah proses latihannya. Secara pribadi, saya sepakat dengan pendapat itu, tetapi pikiran itu ada setelah selesai acara pementasan, kalau sedang latihan pikirannya tidak seperti itu. Maunya cepat pementasan, maunya cepat lihat hasil, maunya cepat beres.

Sehingga muncul konsep ensamble bahwa vitalitas dalam sebuah pementasan adalah kerjasama, tidak mau menang sendiri, jangan mau bagus sendiri, sebab sebuah pementasan tidak membawa satu nama orang saja , misalnya sutradaranya saja, actornya saja otomatis yang dinilai bukan bagusnya actor bermain, bukan bagusnya artistic tetapi kemenangan adalah bagusnya sebuah pementasan dan itu mencakup semua kru yang terlibat.

Pencapaian ini bisa didapatkan dengan jalan saling toleransi, saling mengerti, saling membantu, saling memahami. Bahkan ada yang menyebut bahwa pementasan teater adalah MENGGOROK LEHER diri sendiri sebab rasa mangkel karena lawan bermain tidak datang harus bisa ditutupi untuk membangun suasana bermain yang kondusif. Karena permasalahan teater adalah perbincangan mengenai totalitas bermain. Sederhananya, ketika memasuki ruangan latihan pikiran mesti tertuju kepada lakon yang dimainkan. Apa jadinya kalau pikiran tidak konsentrasi tetapi sebaliknya lawan main sedang semangat-semangatnya siapa yang harus membangun suasana. Kita atau lawan main.

Itulah sebabnya orang berkata mempelajari teater adalah mempelajari kehidupan karena hidup adalah panggung akbar yang terkumpul dari stimuli-stimuli yang mau tidak mau mesti kita respon. Dan respon itu mempunyai siasat dan siasat yang paling jitu adalah menempatkan posisi orang lain seperti diri kita. Bukankah tadi sudah dikatakan bahwa pementasan adalah upaya penyerangan terhadap lupa akan kemanusiaan.

Pementasan adalah proses menjinakkan diri sendiri, kita yang suka meraung dengan teori-teori, segala sesuatu mesti berbingkai wacana harus mencoba melepaskan teori, melupakan teori untuk sesaat. Karena dalam pementasan teori untuk dilupakan untuk segera mempribadi dengan teori itu. Dan tanpa menghafalkan lagi teori. Menindakkan teori. Kita lupakan teori dalam bermain. Bermainlah dengan jiwa raga, melakonlah dengan tubuh dan ruh. Berbicaralah dengan nalar dan rasa.

Tiga

Tentunya, nilai yang hendak disampaikan dalam setiap pementasan teater akan berbeda. Ini akan tergantung kepada; apa naskah yang akan dimainkan; siapa sutradara yang menggarap; konsep teater apa yang akan memainkan dan lain sebagainya.

Drama Faust akan berbeda dalam pementasannya manakala Bengkel Teater, Teater Mandiri, Teater Koma, STB yang menggarapnya. Karena setiap teater mempunyai konsep tersendiri dalam pementasannya. Hamlet akan berbeda dalam penampilannya manakala Rendra, Suyatna Anirun yang memainkannya. Setiap actor mempunyai formulasi pribadi dalam mendekati, menghayati tokoh yang akan diperankannya. Drama Becket akan berbeda nuansanya manakala ada di tangan Putu Wijaya, Teguh Karya, Arifin C Noer, Nano S, sebab sutradara mempunyai penafsiran yang beragam dan metode yang berbeda pula.

Ada secara langsung tegas jelas dalam penyampaian pesannya. Ada yang secara panjang dengan dialog filsafati, puitis menyampaikan pesannya. Ada yang hanya dengan gerakan saja. Ada yang menerkam penonton sehingga setelah pementasan usai penonton dengan jelas mengerti apa maksudnya. Ada yang membiarkan penonton menafsirkannya secara liar sehingga setelah beres pesannya bisa beragam. Ada yang mengajak penonton memasuki labirin-labirin gelap yang menantang membingungkan lantas setelah selesai pesanpun tidak didapatkan dari pementasan itu. Yang ada hanya ekstasi, kecanduan pengen nonton lagi dan lagi. Ada yang ada-ada saja. Begitulah pementasan prosesi untuk MENGADA.

Empat

Dengan pementasan teater manusia diajak untuk melakukan ritual kemanusiaan. Mengapa manusia mesti diingatkan bahwa dirinya adalah manusia? Dengan tujuan agar inti ajaran kemanusiaan tercapai. Memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan itulah inti ajaran kemanusiaan. Sedehananya kalau kita dicubit merasa sakit maka orang lain juga akan merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan.
Dalam lakon Faust kita akan diingatkan bahwa kita ini adalah manusia sosok yang rakus, tamak dan tak pernah terpuaskan. Tetapi jangan serta merta kita merasa malu menontonnya sebab tak lain tak bukan Faust itu adalah diri kita atau setidaknya ada faust-faust kecil dalam diri kita yang mesti kita jinakkan. Dan berubah menjadi lebih baik. 

Pementasan adalah suatu upaya mengingatkan yang lupa. Yang lupa akan indahnya kebaikan, tragisnya pengkhianatan, lirihnya kekecewaan, hebatnya kebenaran, sakitnya merendam dendam. Yang lupa bahwa kita adalah sama sama manusia.

Tetapi dengan pementasan prosesi mengingatkan tidak seperti yang dilakukan di bangku sekolah yang dengan tegas menggurui ini baik dan itu salah, tidak sebagaimana yang dikatakan di atas mimbar dengan gampang mengutuk ini dosa dan itu tidak, ini halal itu haram. Pementasan kadang kala melakukan ritual kucing-kucingan dengan penonton. Membiaskan apa yang hendak dibicarakan dengan itu memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengambil makna sesuai dengan pribadi dan kehidupannya. Karena mungkin saja untuk orang lain belum tentu cocok buat kita. Tidak ada dogma, doktrin dalam pementasan.

Akhirnya, pementasan adakalanya menghibur sebagai sebuah peristiwa yang memberikan harmonitas yang belum terselesaikan oleh akal. Ia berada dalam tatanan insituti dan bekerja di bawah sadar memberikan harmoni pada suatu dunia yang jernih dimana tidak ada keterbatasan indera. Sehingga segala sesuatu yang bermunculan berkaitan satu sama lain. Sebuah dunia yang tidak ada kebetulan, ketiba-tibaan. Karena satu sama lain jelas hubungannya. Satu sama lain sudah mempersiapkan dirinya dalam sebuah arus yang luhur. 

Apapun itu namanya. Begitulah kilah guru.

(Pra wacana pementasan lakon Unggut)

Mujahidin, 12 : 59
Bandung, 10 Agustus 2006

0 komentar:

Posting Komentar