“Master” Kehidupan



Sial!

Tadinya aku berpikir kalau kuinstal maka akselerasi komputerku sedikitnya akan, bertambah tapi ternyata eh malah makin lemot bahkan program word-nya pun susah di instal. Akhirnya aku mesti rela menulis dengan program word-2000. Tidak terlalu menjadi masalah sih! Hanya tampilannya yang sedikit udik. Yang penting masih bisa menulis.

Ketika program word-susah diinstall, aku sedikit senewen “wah tidak bisa menulis! Gawat!!”
Kalau sehari tidak menulis, rasanya ada yang kurang dalam hidupku. Dan komputer sudah menyatu dalam aktivitas menulis. Semenjak aku mendeklarasikan diriku menjadi penulis (hebatnya diriku ini?! Ya. Siapa sangka?!? Aku benar menjadi seorang penulis terkenal suatu saat nanti, doakan saja!) komputer seakan sudah menjadi barang suci dan wajib kumiliki.

Karena kebiasaan menulis di komputer, tulisan tanganku kini jeleknya minta ampun. Aku canggung sekali untuk menulis di atas kertas. Menurutku, ini mungkin salah satu efek negatif dari kemajuan teknologi yang dicapai oleh umat manusia selain juga antek-antek teknologi lainnya seperti internet, hp, televisi, sungguh sangat mendehumanisasikan! Membuat kita menjadi bukan manusia. Pada awalnya kita mencontoh cara kerja mesin lamat-lamat dengan “iman” efisiensi dan efektivitas maka kita pun menjadi mesin itu sendiri.

Tapi apa mau dikata, kalau kita tidak mengikuti perkembangan zaman maka kita akan terus hidup di masa lalu dan ditinggalkan oleh waktu. Ya begitulah hidup, kita mesti terus berkompromi dengan kenyataan yang akan kita hadapi. Untuk apa? Untuk mempertahankan hidup. Mengapa? Karena kita belum mengalami mati oleh karena itu kita hanya bisa berucap tiada yang lebih berarti daripada hidup. Kenshi Himura mengatakan untuk mati itu gampang, tetapi untuk hidup memerlukan keberanian. Jadi sebetulnya, orang yang berani adalah orang yagg bisa mempertahankan hidup dan terus hidup. Chairil anwar mengatakan aku mau hidup seribu tahun lagi! Kenapa? Karena sekali (hidup) berarti, setelah itu mati.

Ngomong-ngomong, aku mendapatkan komputer ini dari seorang teman. Ya! Yang tadi sms-an denganku. Ceritanya begini, temanku Ronal mempunyai seorang adik bernama Ari. Ari mempunyai teman lagi bernama Angga. Jangan khawatir, aku tidak akan menceritakan temannya Angga. Karena silsilah nasab komputerku hanya sampai pada Angga.

Jadi (kalian membaca cerita ini pake dialek batak, medan) pada suatu ketika si Angga itu tidak punya uang. Nah, meminjam lah uang si Angga itu pada si Ari, tapi kebetulan lagi si Ari tidak punya uang. Kemudian si Ari meminjam pada kakaknya, yaitu si Ronal yang aku sebutkan tadi. Tetapi dasar semuanya pada kere, si Ronal juga tidak punya uang, maka meminjamlah si Ronal itu pada si Faizal. Untunglah si Faizal punya uang, maka diberilah pinjam si Ronal sama si Faizal. Jadi si Faizal itu tidak tahu kalau urang yang dipinjam oleh si Ronal buat si Angga.

Uang yang si Ronal pinjam dari si Faizal itu kemudian diberikan kepada si Ari, oleh si Ari diberikan lagi kepada si Angga. Nah, sebagai jaminan si Angga menyimpan CPU-komputernya pada si Ari. Gembiralah si Ari sebab kebetulan dia sedang membutuhkan komputer.

Mengapa CPU-itu tidak diambil oleh Faizal? Bukankah secara de facto sesungguhnya Faizal-lah yang berhak atas CPU-itu. Faizal tidak membutuhkannya. Soalnya dia sudah punya komputer. “Daripada ngaheurinan di kamar, mending di simpan di tempat lain”, begitu katanya. Sejak saat itu, CPU Angga dipakai oleh Ronal. Sebelum sampai ketanganku, CPU itu sudah melewati dua kosan, Nunuh, Wahyu dan terakhir olehku.

Bagaimana ceritanya bisa sampai ke tanganku? Begini, saat itu aku berpikir, sudah waktunya aku membutuhkan komputer sendiri, sebab dengan mempunyai komputer sendiri aktivitas menulis yang biasa kulakukan akan bebas, santai dan berjalan dengan lancar. Tidak harus menunggu komputer kosong atau sedang tidak dipakai.

Bahkan suatu ketika aku harus tinggal di rumah Faizal selama satu minggu lebih, sebab aku disuruh menulis tentang cerita kehidupan di pesantren. Aku harus begadang karena pada siang hari komputer semua di pakai. Belum lagi inspirasi selalu tidak bisa di kontrol kapan datangnya? Walhasil manakala inspirasi itu datang, aku berusaha merekamnya pada secarik kertas, tetapi pas waktu aku mau menuangkannya dalam bentuk tulisan, komputernya ternyata sedang dipakai, atau ketika sudah kosong mood menulisku sudah tidak hilang, atau inspirasinya keburu lupa.

Begitulah ceritanya, maka aku berpikir keras untuk memiliki komputer sendiri. Ya, kalau komputer sendiri, aku bebas untuk menulis kapan saja, bangun tidur bisa langsung nulis, malam hari, siang hari, kapan pun? Toh itu komputerku sendiri? Tetapi bagaimana caranya? Sedang harga komputer jauh dari jangkauanku, yang second saja sudah satu juta lebih, dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Pada saat itulah aku teringat dengan CPU si Angga. Kenapa tidak? Nekad saja, pikirku.

Aku bontang-bonting cari uang ngumpul-ngumpul. Setelah terkumpul aku datang ke Faizal, membayar hutang si Angga. Jadi aku bisa leluasa membawa CPUnya. Tinggal beli monitor dan perlengkapan lainnya semisal mouse, keyboard, dan lain sebagainya.

Dengan membayar hutang si Angga sebanyak dua ratus ribu rupiah—kemudian membeli monitor, mouse dan perlengkapan lainnya yang menghabiskan uang lima ratus ribuan lebih—akhirnya aku bisa memiliki komputer sendiri. Sedang riwayat, si Angga pemilik komputer (maksudnya CPU) ini aku sendiri tak tahu. Kata si Ari, Angga tidak melanjutkan kuliahnya. Baguslah, gumamku. Sedang Nunuh, Ronal dan Wahyu sekarang sudah memiliki komputer sendiri-sendiri.

Sore itu aku mengirim pesan. Inilah dokumentasi pesan itu :


Yu, nt boga master opis (word) te?
Pengirim: tedi taufiqrahman
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:05:23

punya d0nk …. Ente b0ga master Dwit teu….?
Pengirim: Wahyu
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:06:37

master hutang, daek?
Pengirim: tedi taufiqrahman
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:14:49

nte ayena aya di mana?
Pengirim: Wahyu
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:15:09

d ciwastra, kadieu atuh ulin…
ku urang di bere master pinter hahahahaha
Pengirim: tedi taufiqrahman
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:16:35

kehed---urang ge geus b0ga master hutangmah-
master pinter boga tapi hese diinstalken na euweuh serial number na…
Pengirim: Wahyu
0856xxxxxx
Tanggal, waktu :
21 April 2008
16:20:24

Sesaat setelah sms-an, aku berandai-andai. Andaikata kalau hidup ini semisal program komputer akan kubeli masternya dan akan kuinstal ulang manakala ada yang rusak, tidak beres dalam kehidupanku. Jadi, hidupku bisa di rubah-rubah. Akan kuinstall semua program kebahagiaan dalam kehidupanku dan akan ku remove semua program yang membuatku sedih, sengsara, celaka.
Ah betapa enaknya!

Mungkin “master” itu ada? Tetapi Tuhan yang memilikinya sebab bukankah Tuhan telah menuliskan di lauhil mahfudz siapa kita, bagaimana jalan kehidupan kita, suratan kehidupan kita. Mungkin master itulah yang sering kita sebut dengan taqdir.

Ya. Aku berkeyakinan master kehidupan itu ada. Tetapi sayangnya master itu disimpan di lain dunia, bukan di dunia yang sedang kita jalani ini. Ah…! Tetapi kalaupun kita tidak mempunyai master atau semua catatan (tentang) kehidupan (kita) itu ya setidaknya kita mengetahui taqdir kita sendiri. Kalaupun tidak semua suratan taqdir. Ya paling tidak, taqdir kita selama satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu hari atau satu jam!

Namun sayang, kita tak akan pernah memilikinya. Sebab aku juga jadi ngeri membayangkan kalau semua umat manusia mengetahui taqdirnya masing-masing; lantas buat apa kehidupan yang sedang kita jalani ini. Kita menjadi Tuhan buat kita masing-masing. Dan segala pencapaian dalam kehidupan kita menjadi sia-sia.

Bagaimana kalau kita mencurinya?! Ya, mencuri master itu dari Tuhan? Apakah mungkin? Mungkin saja, bukankah tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia ini. Ya. Aku akan berangkat untuk mencurinya.

Bandung, Pandanwangi
22 April 2008
18:40

0 komentar:

Posting Komentar