"SOP LUDAH"


[sebuah refleksi yang kurang ajar]


Pernah dengar sop buah? Tentu tidak aneh, bukan? Bagaimana dengan sop ludah?

Banyak pedagang jalanan yang menjual. Harganya rata-rata di atas 2500, banyak macam buahnya berbanding lurus dengan harganya. Kalau mau banyak macam buahnya ya otomatis harganya mahal. Sop kalau dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda soep berarti kuah yang banyak sayurnya dicampur dengan daging sapi, ayam, kepiting udang tanpa santan. Mengalami perembesan kata dan kita mengenalnya dengan istilah sop; ada sop buntut, sop ayam jamur dan sop lainnya, salah satunya adalah sop buah.

Belum pernah dengar 'kan. Sop ludah juga sama, sayur yang dicampur dengan berbagai macam teori, metodologi, opini, gagasan, penelitian, data dan berbagai macam fakta dari akurat sampai yang terlaknat. Semuanya diaduk menjadi satu dalam satu hidangan yang disebut dengan sop bentuknya bisa buku, artikel, makalah dan lain sebagainya.

Semuanya campur aduk, prinsip sop ludah ini adalah trial and error. Tapi kadang kala seenaknya, tergantung selera, tergantung interes dan kesukaan. Seperti halnya dengan sop buah, satu pedagang sop buah tentunya tidak akan menghidangkan sop buah yang persis sama. Misalnya saja, pedagang T memasukkan nangka dalam sopnya tetapi pedagang F tidak memasukkan nangka malah yang lain durian misalnya. Eh … di ujung sana pedagang K tidak memasukan nangka dan durian tetapi malah buah si malakama, jadinya konflik weh.

Begitu juga dengan sop ludah, misalnya si penyuguh lebih banyak memasukan ludah nalar dalam sopnya, maka sopnya dan disebutlah ludah ilmiah si penyuguhnya sering disebut dengan intelegensia, cendikiawan, atau bahkan filsof. Tetapi ada kala orang lebih sering menyuguhkan ludah rasa ketimbang lidah nalar maka orang itu bisa disebut satrawan, seniman atau penyair dan pujangga. Atau ada ludahnya kering karena lidahnya sering dipakai untuk berkampanye, diplomasi, lobi bahkan menjilat maka mukanya disebut politikus.

Pemilihan buah ini, tidak ada standarnya dan tidak ada sangsinya. Semuanya adalah kesepakatan sosial seperti yang telah disebutkan diatas. Tetapi tidak, dalam sop ludah ini. Sop sastra tentunya berbeda dengan sop tafsir meskipun ada kesamaan dalam prosesi pembuatannya. Nah, karena mengikuti aturan sop buah, kadang kala sop ludah juga keteteran dengan selera.

Bukankah selera tidak usah diperdebatkan. Misalnya, mana bisa dipaksakan saya harus menyukai teh manis sementara saya menyukai teh asin. Tetapi tidak pak! Dalam sop ludah. Sop ludah memiliki aturannya tersendiri, misalnya tidak bisa sop sastra dibuat atau dilihat dengan cara pembuatan atau mekanisme sop kalam atau teologi, nanti malah kacau dan rasanya tidak asyik, bukan asyik nanti malah lidah kita akan aneh!

Kendati demikian, ada juga termasuk saya, yang memakai aturan sop eksak untuk menilai sop sastra, kan jadinya nggak karuan. Tidak nyambung terkesan dipaksakan. Akhirnya adalah rasionalisasi habis-habisan dan mati-matian! Misalnya sudah dikatakan mau buat sop buah, eh karena dia suka jengkol, maksa untuk memasukan jengkol. Kan jadi aneh!

Hal ini sering terjadi manakala seorang yang sudah menjadi pembuat sop tafsir pada suatu hari kena sengat tersinggung dari sop sastra. Maka dia babat habis sop sastra dalam kacamata metodologi sop tafsir. Pertanyaannya; kenapa dia tidak hantam lagi sop sastra dengan sop sastra yang lebih enak.

Misalnya di pasar berjajar tukang dagang dari sop buah sampai tukang baso. Pada suatu hari ada pedagang baru yang ikutan, dia berdagang sop buah. Dan ternyata sopnya enak banget dan dipuji oleh banyak orang dan laris. Kita yang sudah lama, katakanlah senior, merasa tersingkirkan. Kita mau membalasnya tetapi bukan dengan membuat sop buah lagi malah membuat sop buntut.

Sop buntut kita juga laris banyak pengunjungnya tetapi karena nafsu dendamnya sembari pengunjung datang kita menghasut para pembeli dengan menjelek-jelekan sop buah buatan junior kita. Pertanyaanya kenapa tidak buat sop buah lagi yang lebih enak? Biar telak menghantamnya. Kalau begini keadaannya, meskipun kita membuat sop buntut yang paling enak tetap saja itu sop buntut, bukan sop buah.
* * *

Begitulah sop buah dan begono juga sop ludah. Makan sop ludah sudah biasa banget bukan? Tetapi bagaimana kalau makan sop ludah? Bisa gitu? Tidak kebayang 'kan? Nggak nyadar ya! Kita sudah sering padahal mah. Kalau ada peribahasa mengatakan, meludah ke langit kena muka sendiri, atau menjilat ludah yang telah diludahkan.

Ludah adalah kata-kata. Kata-kata yang dikêdalkan, yang dikêcapkan, yang diucapkan. Salah satu cara kita meminum sop ludah adalah terlampau sering, terlanjur banyak gagasan yang di lontarkan tetapi tak satupun yang kita kerjakan, tak satupun ludah kita menjadi berkah.

Emang lidah tidak bertulang. Kalau lidahnya saja sudah tak bertulang apalagi ludahnya, licinnya minta ampun! Tak ada omongan yang bisa dipegang. Kata yang bermetamorfosa menjadi wacana karena mendapat cipratan nalar malah menjadi wacana liar yang tak tertanggung jawabkan.

Seenak udelnya kita berwacana mengusung daftar kemanusiaan, menyembunyikan kebencian, ketersinggungan diri terhadap golongan atau kelompk tertentu. Seenak pudelnya kita menggonggong wacana, menyalak metodologi seakan-akan kita adalah dewa yang dengan segenap hati mendapatkan lisensi dari Tuhan untuk membuka tabir realitas. Padahal kebenaran dibalik kelambu realitas adalah kepentingan yang memang kita cari dari awal untuk mengahantam lawan kita, musuh kita yang telah menyinggung kita.

Maka sop ludah, tidak lagi menjadi istimewa dalam gelasnnya. Menjadi barang incaran sebagai desert karena telah harkat dan derajatnya menjadi sebuah peluru, seongkang senapan yang siap untuk dilepaskan ditembakkan ketika musuh kita berbicara.

Membunuh, melumpuh adalah gawean dari metodologi untuk menekuk musuh dari sebelah mana saja, yang jelas adalah rasionalisasi dari setiap permasalahan. Kita sudah terlanjur suka meminum sop ludah sendiri, kumpulan air liur yang sengaja kita kumpulkan sendiri dalam gelas emas, dalam cawan suci karena memang kita adalah pembohong sejati. Pembual ulung. Kita sudah lupa bahwa kita bukan hanya homo sapiens melainkan juga homo faber. 

Mari kita merayakan sop ludah sebagai trend wacana dan intelektual kita.

Amin!

0 komentar:

Posting Komentar