Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini !!!




Dan “pementasan” akbar terakhir dilakukan mahasiswa pada Mei 1998, lagi-lagi “dalam rangka menggulingkan” pemerintahan Soeharto yang ditandai pengumuman pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 mei 1998.



Sejarah Indonesia modern dimulai semenjak kebangkitan nasional tahun 1908, kemudian berlanjut ke angkatan 1928, angkatan 1945 dan angkatan 1966—seperti yang diungkap dalam Kampus edisi 18/10/2007—dianggap momen sejarah yang gemilang bagi mahasiswa Indonesia karena berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Namun setelah tahun 1998 gerakan mahasiswa dianggap melempem. Aksi mahasiswa di jalan dianggap pembuat kemacetan—memang benar sudah saat dan seharusnya—kita membaca sejarah (Kampus, edisi 18/10/2007). Jangan sampai kita hanya bangga oleh kehebatan aksi mahasiswa dahulu yang mampu membelokan arah sejarah, tanpa berbuat apa-apa.

Pelajaran pertama, adanya musuh bersama (common enemy), dengan bahasa yang lebih santun, yakni tujuan bersama yang dijadikan target pergerakan. Target mahasiswa pada rentangan tahun 1908 yang diprakarsai oleh aktvitas pelajar dari Budi Utomo sejatinya adalah pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Sebagai batu loncatan untuk menggapai kemerdekaan itu diperlukan sebuah kekuatan massa yang massif dan pada saatnya nanti siap digunakan maka kemudian pada tahun 1928 berkumpullah para pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang menyatakan Satu bangsa, Satu Tanah Air dan Satu Bahasa Persatuan.

Puncak dari persiapan pergerakan para pemuda ini terjadi pada tahun 1945, yang mendorong—malah mungkin memaksa—Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan dan mendirikan Negara RI yang berdaulat, tidak sebagai hadiah Jepang, melainkan sebagai hasil dan kehendak sendiri.

Namun kurang lebih 21 tahun kedepan, tepatnya tahun 1966, orang-orang yang dulu mereka “angkat” sebagai bapak-bapak yang mengantarkan bangsa Indonesia ke kemerdekaan terpaksa mesti “digugat” dengan tiga tuntutan yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura. Untuk pertama kalinya dalam rezim Orde Lama mahasiwa dan pelajar menunjukkan sikap terang-terangan menentang pemerintah secara massal kemudian berturut-turut melancarkan demonstrasi besar-besaran yang makin meninggi intesitasnya.

Tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat yang memberi wewenang untuk mengatasi keadaan yang sudah demikian tegang, kacau balau, eksplosif.

Selama kurang lebih 32 tahun kemudian, setelah peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, mahasiswa menunjukkan keperkasaannya kembali dengan mengambil alih gedung MPR/DPR karena pelbagai macam masalah dalam negeri, harga-harga naik, krisis moneter, kepongahan militer yang menjadi-jadi dipungkasi dengan kematian mahasiswa Trisakti. Walhasil Soeharto lengser ke prabon.

Relasi antagonis antara mahasiswa dan pemerintah yang digambarkan dalam dua sketasa sejarah ini kiranya tidak dilihat sebagai sebuah “kutukan” melainkan sebuah “keseimbangan”, mahasiswa yang dididik di Universitas sebagai, meminjam istilah Bung Hatta, Republik Berpikir Bebas selalu menjadi pengontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah manakala tidak berpihak kepada rakyat.

Musuh tidak selalu mesti memiliki konotasi yang jelek, musuh bisa ditafsirkan sebagai tantangan, tujuan atau arahan target pencapaian yang hendak diraih. Kalau mengikuti konsep Dahrendorf, karena mahasiwa tidak menemukan musuhnya di luar maka teman sesama mahasiswa dijadikan musuh. Maka jangan heran kalau sekarang bukan polisi pengaman kerusuhan lagi yang dilempar batu melainkan teman se-alamamaternya sendiri.

Pasca reformasi, mahasiswa seolah bingung akan arah pergerakannya, sialnya lagi kebingungan ini ditambah dengan, banyaknya aktivis mahasiswa yang “menempel” dengan partai politik praktis sehingga nilai-nilai idealisme dan luhur yang dahulu diperjuangkan lamat-lamat terkikis oleh kepentingan pragmatis sesaat.

Pelajaran kedua adalah mesti adanya agenda yang jelas, sistematis, terarah dan terukur, dari dua penggulingan kekuasaan plus kemerdekaan mahasiswa selalu “memberikan” hasil jerih payahnya kepada pihak lain yang mengambil alih kekuasaan. Pemberian kekuasaan kepada pihak lain ini menyebabkan perubahan yang selalu dibawa oleh gerakan mahasiswa tidak tuntas.

Banyak factor yang menyebabkan hal ini terjadi salah satunya adalah tidak adanya agenda jelas dari setiap gerakan mahasiswa, atau paling tidak ada rencana lanjutan yang dirancang oleh gerakan mahasiswa setelah melakukan perubahan structural tidak hanya memantaunya dari luar. Parsialitas tema yang digarap oleh setiap gerakan mahasiswa pula menyebabkan agenda gerakan bersama tak kunjung terwujud. Bisakah kita membuat hal yang serupa seperti Sumpah Pemuda dulu? Bisa. Sebab, seperti yang dikatakan Taufiq Ismail, Kita adalah pemilik sah republik ini. Tak ada pilihan lain. Kita harus berjalan terus. Karena berhenti atau mundur berarti hancur.***

0 komentar:

Posting Komentar