Kecurigaan



Malam itu adalah malam yang paling ramai setelah hujan seharian mengguyur kampung Bantarbolang. Kampung, yang pernah pongah dan berjaya atas nama kebesaran kepala desa yang membimbingnya; Patih Sampun.

Konon kata penduduk asli Bantarbolang, Patih Sampun itu adalah keturunan wali yang sakti mandraguna. Ada satu cerita yang sangat menarik, alkisah Patih Sampun ditugaskan membuat jalanan oleh bupati. Ketika bupati mengecek kesana, ternyata jalan belum jadi. Marahlah bupati, lalu dia menghampiri rumah Patih Sampun, disana Patih Sampun sedang tertidur.

Lalu dibangunkan nya Patih Sampun dan langsung di marahi, lantas Patih Sampun dengan tersenyum, cuma bilang "udah jadi kok jalannya... lihat aja sekarang"

Bupati balik lagi ketempat tadi, secara menakjubkan jalanan sudah jadi, rapi dan lurus, jalanan itu masih ada sampai sekarang, yakni dari alun-alun lurus sampai ke pantai utara.


***

Namun, keramaian di kampung Bantarbolang malam itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian Patih Sampun yang terjadi beberapa tahun silam. Keramaian di kampung Bantarbolang kali ini kurang lebih hanya disebabkan adanya rapat di rumah kepala RW yakni Pak Rusman.

Pak Rusman adalah pensiunan PNS. Ya, Pegawai Negeri Sipil, yang pada zaman kiwari, di akui atau tidak, kepikiran atau tidak, bagi sebagian orang adalah impian yang maha sempurna ketimbang menjadi orang bermanfaat seperti kata nabi.

Menjadi PNS adalah impian yang di sadari atau tidak banyak diperebutkan oleh warga Indonesia mengalahkan impian menjadi Dokter, Pilot, Insiyur seperti dahulu kala. Sampai-sampai telinga istri pak Rusman sendiri pekak ketika anaknya Hadar, ditanya mengenai cita-citanya di sekolah oleh gurunya.

Dengan antusias, Hadar menjawab "Mau jadi PNS bu…! Seperti bapak".

Hah, ...anak-anak memang sangat lucu dan menggelikan, apa yang mereka bisa pahami dari struktur kata PNS.

“ah biarin bu, namanya juga anak-anak, nanti juga lupa sendiri, minggu depan kalau ditanya lagi seperti itu, jawabnya juga pasti beda. Lagian cita-cita kan nggak seperti agama” jawab pak Rusman enteng, ketika istrinya Halimah mengadukan kejadian ini kepadanya.

“maksud bapak? cita-cita dan agama, maksudnya gimana?... ibu nggak ngerti” tanya Halimah heran.

“ya, maksud bapak, tidak ada salahnya bukan kalau cita-cita Hadar itu berubah-ubah, yang jadi masalah itu, kalau hari ini Hadar menjawab agama Islam, besoknya agama bukan Islam, ...” lagi-lagi Pak Rusman menjawab sekenanya

“idih...bapak sukanya bikin kepala ibu puyeng, ...”


***


Pak Rusman baru sebulan pensiun dari tugasnya. Alasan pak Rusman sendiri mengapa mau menerima tawaran menjadi Rw adalah, karena memang sifat dasarnya yang gila jabatan. Daripada nganggur tak karuan maka pak Rusman mengambil tawaran itu.

Kerja jadi Rw, pun tak berat, Cuma tanya warga sana, tanya warga sini, takut-takut ada yang bermasalah, memasang sikap bijak, mengatur warga, member intruksi, ya begitulah rutinitas seorang pejabat yang gila hormat seperti para wakil rakyat yang ada di sana.

Nanda tangan kalau ada yang minta pengantar ke kelurahan untuk membuat surat kelakuan baik, surat bebas narkoba, surat keterangan tidak mampu, sampai surat keterangan perjaka buat izin menikah.

Jabatan Rw sebenarnya tidak terlalu bergengsi dibandingkan jabatan struktural lainya lurah, gubernur tapi dalam masyarakat kecil seperti di kampung Bantarbolang, sebutan "pak Rw" lebih mending dan sedikit menaikkan status sosial. Daripada tidak disebut-sebut.


***


Kali ini pak Rusman menggelar rapat kerja, membahas agenda kegiatan yang belum terlendingkan; dari mulai kegiatan gelar ramadhan, bakti sosial, kreasi seni dan kegiatan lainya yang banyak tidak terlendingkan. Alasan para warga sih sederhana yakni dana. Tapi pak Rusman punya keyakinan, dimana ada kemauan di sana ada jalan. Maka dana tidak menjadi masalah.

“theres many way to Bantarbolang” kata Pak Rusman dua minggu silam, ketika mewacanakan rentetan kegiatannya itu, warga yang kebanyakan lulusan SD, berprofesi petani, tukang sol, tukang beca, tukang permak levis, tukang parkir, pedagang asongan, tukang martabak, roti bakar manggut-manggut mendengar bahasa aneh yang keluar dari mulut besar Pak Rusman.

Pak Rusman yang mengetahui ketidak mengertian warganya kemudian menerjemahkan dengan bahasa yang lebih sederhana.

“maksudnya, banyak jalan ke Bantarbolang” tegas pak Rusman.

“Oh..” jawab warga yang hadir serempak, ...

“betul..betul, kalau dari Moga ke Bantarbolang bisa lewat ladang tanah miliknya pa Yogi itu” bisik pak Maman.

“nah kalau dari kampung Warungpiring, Pulosari, juga ada jalan singkat” timpal yang duduk di sebelahnya sembari menyeruput kopi.

“betul juga ya, apalagi dari Belik, Watukumpul, Bodeh, Randudongkal, Petarukan, Ampelgading, Comal, dan Ulujami...” bisik bapak yang memakai peci hitam.

“memang tak salah kita memilih Pak Rusman jadi RW, bahkan selama saya jadi tukang ojeg, tidak kepikiran sampai sejauh itu. Pak Rusman memang cerdas” bisik bapak yang memakai baju koko berwarna kheki di barisan paling belakang.

Melihat para peserta rapat riuh dan manggut-manggut, pak Rusman menyangka mereka mengerti dan siap melaksanakan rentetan kegiatan yang di sebutkan olehnya. Pak Rusman bangga melihat semua warganya sangat sigap.


***

Namun ternyata, hasil rapat dua minggu ke belakang tidak menghasilkan apa-apa. Hampir semua rencana kegiatan itu tidak ada yang dilaksanakan, setiap warga malah sibuk dengan kehidupannya sendiri sendiri. Yang jualan martabak asyik dengan persiapan nya membeli mentega, terigu, keju dan lain sebagainya. Yang jadi tukang parkir malah heboh dengan rencana wali kota yang akan membagi-bagi lahan parkirnya, begitu juga tukang becak, tukang cukur. Tak ada yang menghiraukan rencana pembangunan yang di canangkan oleh pak Rusman.

Pak Rusman bingung, linglung alang kepalang.

Pak Rusman malu nanti kalau setelah turun dari jabatan, dia meninggalkan kesan jelek, pengennya ketika ia turun para warga membicarakan kebaikan pak Rusman tatkala ia menjadi Rw, kesuksesan-kesuksesan yang pernah di raihnya seperti Patih Sampun dulu.

Tetapi untuk menutupi hasrat keabadian nya itu pak Rusman mengatur siasat, supaya warga tidak mencium gelagat ambisi popularitas yang di simpan nya secara rapi di bilik rahasia.

Ketika mendengar undangan rapat, wargapun saling bisik-bisik

"ada apa ya pak Rw, kok nggak biasanya membuat rapat dadakan seperti ini. Pake ada acara makan-makan lagi"

"paling-paling juga dia mau kampanye supaya tahun depan kepilih lagi jadi RW" timpal yang lain.


***


Semua warga sudah masuk ke rumah pak Rusman, satu-satunya rumah yang gedong di kampung Bantarbolang.

Makanan di mana-mana. Para warga, ada yang beringsut-ingsut maju ke depan supaya lebih dekat konsumsi.

"ehhm..ehmm" pak Rusman pura-pura berdehem untuk mengingatkan warga akan kehormatannya sebagai pak Rw, karena pada saat itu kondisi ramai sekali. Mendengar dehem pak Rusman, yang tadi beringsut maju ke depan, kini mundur lagi kebelakang.

Pak Rusman berbisik ke sekretarisnya pak Iksan untuk segera di mulai.

Pak Rusman rupanya nggak tahan untuk memulai pidatonya. Sekarang giliran pak Iksan berdehem "ehmm…ehmmm". Tapi warga sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.

Pak Rohman ngobrol dengan pak Sokret

"pak Rohman bagaimana kabar anaknya itu?" tanya pak Sokret datar.

Mendengar pertanyaan pak Sokret, pak Rohman mendadak mati kebingungan.

Di dalam pikiran pak Rohman bertanya-tanya

“anak yang mana? Apakah pak Sokret tidak tahu kalau aku belum punya anak”.

Tidak lama kemudian pak Rohman mempunyai pikiran baru, sebuah kecurigaan.

“Wah ternyata gosip istriku selingkuh benar juga, buktinya pak Sokret menanyakan anak. Bukankah seluruh warga tahu aku belum mempunyai anak. Apa-apaan ini pak Sokret menanyakan soal anak segala?”

Sementara Pak Rohman yang terus bergelut dengan pikirannya, Pak Sokret yang bosan menunggu jawaban dari pak Rohman, berpindah ke bapak lain yang hadir pada waktu itu.

"Hai pak Taufik…!?! sedang santai rupanya,.." tanya pak Sokret polos.

Taufik adalah warga yang terhitung dihormati, karena dia mengaku bekerja sebagai dosen di sebuah kota besar. Padahal kenyataannya dia bekerja pada sebuah toko buku sebagai Cleaning Service. Sialnya, dengan tongkrongannya yang meyakinkan, seluruh warga percaya saja pada Pak Taufik. Karena memang kalau ia pulang pasti membawa uang yang terhitung banyak dan buku yang tebalnya minta ampun..

Pernah Taufik dimarahi istrinya karena mengaku-ngaku sebagai Dosen

"mbok pak, udahlah mending ngaku aja pada warga yang dekat, kalau bapak itu sebenarnya tukang klining bukan dosen. 'Kan nggak jadi repot kaya gini, setiap pulang pasti bawa buku, padahal bisa baca aja bapak udah mending".

Pak Taufik yang sok berpendidikan menjawab

"ibu salah bukan tukang klining, tapi cleaning service” sembari menunjukkan tulisan yang ada di dada kiri seragamnya

“sekarang yang kita perlukan adalah gengsi bu! Coba kalau mereka tahu kalau aku ini tukang klining pasti mereka tak sudi menghormati aku. Sekarang 'kan kondisinya enak, seluruh warga menghormati, malah mencontohkan anak-anaknya untuk menjadi seperti aku 'tuh lihat contoh pak Taufik yang pintar"

"Iya…enak sih enak, tapi coba kalau dijadwal buat ceramah aja, bapak belum pernah datang 'kan? Alasannya ada aja! Sakit inilah sakit itulah. Bagaimana kalau berbagai macam penyakit udah bapak jadikan alasan, mau pake kematian jadi alasan?" pak Taufik kalah telak, nyelonong masuk ke kamar dan tidur.

"huh masa dosen bisanya cuma tidur…!?"

Sekarang pak Taufik sedang kebigungan, oleh pernyataan bapak Sokret.

“jangan salah langkah nih, kalau salah jawab aku pasti malu. Jawab apa ya? Entar dulu…kenapa dia bertanya tentang santai? Apa maksudnya?”

Pak Taufik terus bingung dan hanyut dalam kebimbangannya.

Dasar pak Sokret orang yang sangat penasaran tapi mudah merasa bosanan, dia pun pindah ke warga lain yang hadir disana. Sekarang dia mendekati ibu Muzdalifah, dan dia mulai pembicaraan

"memang ya bu, sekarang ini para pejabat makin banyak saja yang korupsi, dasar manusia yang tidak berperadaban…".

Muzdalifah langsung tersentak dengan pernyataan pak Sokret itu. Sebelum merespon pernyataan pak Sokret, ibu Mudzdalifah bertanya-tanya dalam hatinya.

“Apa yang dia maksud adalah suamiku yang korupsi sebesar dua ratus ribu. Tapi bagaimana dia bisa tahu, kasus itu 'kan hanya tersebar di kelurahan saja. Setahu dia, warga di kampung Bantarbolang tak ada yang mengetahuinya. Atau yang dia maksud adalah para koruptor di pemerintahan. Memang, suamiku korupsi tapi bukan berarti dia tidak berperadaban”

Mudzdalifah sontak melihat kepada pak Sokret. Mereka berdua saling memandang, saling menanyakan maksud dari pandangannya itu.

Pak Sokret yang merasa tidak enak dengan tatapan ibu Mudzdalifah, serta merta berpindah ke warga yang lain.

Sekarang giliran dua janda muda; ibu Rayani dan ibu Siti yang baru ditinggalkan suaminya, yang satu mati karena bisul di kepala, satu lagi mati karena penyakit ambeyen. Kebetulan mereka sedang berkumpul berdua. Pak Sokret datang menghampiri mereka dan berkata

"lagi rame nih, bu saya punya teka-teki; kalau suami ibu berdua masih hidup, apa yang ingin ibu berdua sampaikan…?".

Seiring pertanyaan pak Sokret, kedua wajah mereka berdua menjadi muram, kelam seperti di sambar petir.

Ibu Rayani berkata dalam hatinya

“bagaimana dia tahu kalau aku yang membunuh suamiku?” Ibu Siti pun berpikiran demikian.

“Apa yang dimaksud dengan teka-teki itu, apakah dia intel yang pura-pura bodoh untuk menjebakku. Kalau iya, aku tidak akan terjebak. Aku akan berpura-pura tidak tahu”.

Jawaban mereka lama sekali, pak Sokret merasa tak nyaman dengan perubahan wajah mereka berdua. Tanpa permisi dia mendekati meja makan.

Disana sedang duduk adik pak Rusman, Ghafur namanya.

"Aku baru lihat kamu di kampung ini. Orang baru…?"

"Bukan, saya adalah adik pak Rusman,"

"ah masa…kakaknya besar ,gemuk, kok adiknya kecil kurus kerempeng ?... kamu sering sakit-sakitan ya?

Ghafur tak menjawab, dia merasa tidak enak ketika ditanya soal sakit. Apalagi postur tubuhnya. Dia mengaku pada dirinya sendiri bahwa memang di pecandu narkoba, tetapi dia sedang menjalani masa penyembuhan. Berat badannya pun kini naik tidak seperti dulu kerempeng kering kerontang.

“Apa maksudnya dengan pertanyaan itu?” Ghafur memaki dalam hati.

“Bukankah tidak ada yang tahu bahwa aku pecandu, atau mungkin kakakku tak sadar berbicara pada teman-temanya mempunyai adik pecandu. Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak mengatakanya kepada siapapun, bahkan kepada ibu. Kenapa ia ingkari janji”

Tanpa sadar air matanya menetes tanpa dikomando. Dia menagis tersedu.

Sokret tidak tahu apa yang terjadi, tetapi yang jelas ia merasa bersalah. Karena malu, perlahan ia meninggalkan Ghafur yang sedang terpengkur berurai air mata.

Kemudian ia menyapa ustadz Sonjaya

"Pak ustadz, kenapa sekarang banyak ustadz yang mematok harga ceramahnya tinggi-tinggi seperti artis dangdut saja".

Ustadz Sonjaya merespon dengan nada bijaksana

"Ustadz juga manusia, saya kira wajar saja kalau ada ustadz yang membutuhkan uang dari hasil caramahnya. Karena kadang ustadz sekarang menjadi profesi. Dan dia harus membiayai keluarganya"

"Iya juga, tapi bagaimana pendapat ustadz mengenai kasus seorang ustadz yang ceramah di kampung Ledeng itu? Kabarnya dia malah menolak tawaran ceramah di mesjid sekitarnya karena harganya rendah".

Sekarang ustadz Sonjaya tidak bisa memasang muka bijaksana, terlihat nada marah dari raut wajahnya. Seakan dia ingin berkata,

“dari mana kamu tahu aku menolaknya. Wah, pasti istriku yang ember ngomong sana-sini, bisa-bisa posisiku sebagai ustadz bisa terancam. Tidak bisa dibiarkan”.

Ustadz memasang strategi untuk berkelit dari pertanyaan itu. Kemudian dia memalingkan pembicaraan.

"Wah, rupanya makanan disini bermacam-macam ya…"

"ustadz belum menjawab pertanyaan saya tadi, bagaimana pendapat ustadz…" sebelum pak Sokret membereskan ucapannya ustad Sonjaya langsung memotong.

"ah sudah itu'kan hanya oknum, buat apa memikirkan hal yang demikian lebih baik kita mencicipi makanan yang telah tersedia" sembari nyelonong pergi.

Pak Sokret, merasa kesepian tidak ada yang bisa diajak bicara. Orang yang diajak ngombrol malah ada yang merenung, ada yang menangis, bertanya-tanya atau sampai pergi seperti ustadz Sonjaya barusan.

"kenapa orang bertindak yang aneh-aneh ya? ". pak Sokret memutar sekeliling kalau-kalau ada yang bisa diajak bicara sepatah dua patah kata.


***

Semua orang ramai sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri. Pak Sokret terus mencari orang yang enak buat diajak ngobrol. Kembali lagi, pak Rusman berdehem. Tapi tak ada yang mengerti.

Akhirnya pak Sokret datang menghampiri pak Rusman yang sedang kesal memberi isyarat kepada warga.

"Eh…pak Sokret. Bagaimana kabarnya baik?" pak Rusman menyapanya duluan

"Pak Rusman, boleh saya bertanya?"

"Oh ya, tentu saja. Ada apa pak Sokret. Ada masalah?" tanya Pak Rusman bijak.

"Tidak, ... hanya mau tahu saja, kenapa dari tadi saya lihat bapak terus berdehem, kalau saya hitung sudah ada sepuluh kali atau lebih. Batuk ya?"

Pak Rusman menatap serius pak Sokret. Mereka berdua saling memandang, saling menanyakan maksud dari pandangannya itu.

Pak Sokret yang merasa tidak enak dengan tatapan pak Rusman, serta merta berpindah ke warga yang lain.




0 komentar:

Posting Komentar