Gaya Baru Model Mengajar




Standarisasi keberhasilan pengajaran sejatinya bukan hanya sebatas anak didik bisa mengetahui asma’ul husna, hapal bacaan sholat, mengenal nama nabi-nabi, nama malaikat, rukun iman, rukun Islam dan lain sebagainya.



Mengingat pentingnya pelajaran agama di tingkat sekolah dasar—yang merupakan pendidikan moral pertama bagi anak-anak selain juga di dalam keluarga—maka Melainkan lebih dari itu, anak didik bisa memahami, menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Itulah inti dari pelajaran agama yakni perubahan sikap.

Tujuan ini nyaris tidak akan tercapai manakala proses penanaman ajaran-ajaran Islam, dalam hal ini pelajaran di sekolah, hanya berhenti pada taraf hapalan dan pengetahuan saja. Hapalan tidak bisa serta merta menjamin akan diamalkan. Pengetahuan juga tidak memiliki jaminan akan dilakukan. Kombinasi dari kedua potensi tindakan itu adalah pemahaman.

Namun sayangnya, hanya sedikit saja yang berusaha untuk mencapai tahap itu. Hal ini banyak disebabkan pada umumnya orang dewasa, dalam hal ini pendidik atau pengajar, kadang enggan memberikan kemandirian kepada anak didik mereka. Mereka beranggapan anak-anak pada sekitaran usia SD kehidupannya masih di kontrol oleh orang dewasa, sehingga tidak perlu banyak diberikan pemahaman. Mereka kemudian hanya mentransfer pengetahuan tanpa mempertimbangkan esensi dari pengetahuan itu sendiri. Padahal anggapan seperti itu keliru, pada usia inilah saat yang tepat untuk memberikan pemahaman agama yang baik kepada anak-anak.

Sikap seperti ini pula hanya memandang anak didik sebagai objek didik bukan sebagai subjek yang memiliki perasaan, pikiran sebagai manusia. Memang benar anak-anak belum mampu berpikir abstrak, tetapi tugas kita lah untuk membuat hal yang abstrak itu menjadi lebih konkret dan bisa dipahami.

Akhirnya ajaran agama dalam dunia anak-anak SD berubah jadi beku, kaku. Ajaran agama tak jauh dari larangan, perintah dan menjadi sebuah konsep abstrak yang tidak dapat dijangkau dan sangat jauh dari kehidupan keseharian mereka. Hal ini menjadikan anak-anak kita lebih akrab dengan tokoh Naruto daripada Nabi Nuh.

Dalam hal ini, bagi pengajar agama, penting kiranya untuk menarik hikmah dari petikan ayat berikut “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(Qs. Ibrahim; 4).

Dalam ayat itu terkandung maksud, bahwa penjelasan tentang ajaran-ajaran agama mesti sesuai dengan bahasa kaumnya. Misal, alangkah tidak bijaksana kiranya bagi seorang guru agama menjelaskan surga—kepada anak kelas dua SD—sebagai nikmat yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan dirasakan oleh indera penciuman.

Apa yang mesti dipahami oleh anak kelas dua SD dengan definisi yang diberikan oleh gurunya itu? Apa yang bisa dijadikan referensi bagi tindakannya kemudian? Maka disini pengajaran agama hanya akan terhenti pada hapalan dan pengetahuan belaka tidak mencapai tahap pemahaman. Benar bahwa anak itu akan hapal dan tahu apa dan bagaimana itu surga tetapi tidak paham.

Sudah saatnya sekarang bagi kita, selaku orang dewasa dan para pendidik, memberikan kepercayaan kepada anak-anak dengan tidak menjadikannya sebagai celengan pengetahuan.

Maka tidak menutup kemungkinan bagi seorang pengajar, dalam kasus yang telah disebutkan tadi, menjelaskan bahwa surga itu adalah tempat yang penuh dengan mainan, makanan dan sebagainya yang sifatnya sangat dekat dengan kehidupan anak-anak. Kemudian bisa dijelaskan juga bahwa anak yang akan masuk surga adalah anak yang tidak nakal, patuh pada orang tua dan berbuat baik pada sesama teman.

Dengan penjelasan seperti ini, anak-anak lebih bisa menghayati arti surga bagi dirinya. Bukankah metode ini pernah digunakan oleh nabi Muhammad saw ketika ada seseorang yang bertanya tentang jihad.

Dikisahkan bahwa ada tiga orang yang bertanya kepada nabi tentang jihad dan nabi menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan yang bertanya. Juga ketika nabi ditanya oleh anak kecil tentang keberadaan Allah, beliaupun menjawab dengan menunjukkan ke atas langit, sebab bagi anak kecil langit adalah segala-galanya.

Sesungguhnya beban sebagai seorang pengajar agama hampir sama dengan seorang ustadz, kiyai dan alim ulama yang menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada masyarakat. Mengajar agama sama dengan berdakwah atau menyeru, maka mengajarlah bil mau’idloti hasanah. Sebagaimana kiyai dan alim ulama adalah pewaris para nabi, begitu juga dengan pengajar agama di sekolah-sekolah.

Wallahu ‘alam bis showab

0 komentar:

Posting Komentar