Beckett Dan Riwayat Menunggu Godot


Mungkin, ada benarnya, bahwa salah satu mozaik dari esensi hidup adalah riyawat tentang menunggu; yang sakit menunggu sembuh, yang sedih menunggu gembira dan yang hidup menunggu mati. Namun seperti yang dikatakan Goethe, tidak semua orang dianugerahi oleh dewa bisa mengatakan apa yang dirasakannya. Adalah Beckett salah seorang—dari sekian banyak manusia yang sedang menunggu—yang bisa mengartikulasikan dengan “baik” apa yang sedang ditunggunya.

“Kita menunggu Godot!” begitu yang diucapkan Beckett lewat Vladimir, salah satu tokoh dalam lakonnya En Attendant Godot. Tapi siapakah Godot itu? Pada suatu kesempatan Beckett diminta keterangan tentang karyanya. Dikatakannya, pada suatu sore Beckett bertemu dengan sejumlah orang yang sedang berdiri di sudut jalan. Waktu itu di Paris sedang musim lomba balap sepeda yang terkenal itu: tour de france. Tatkala Beckett kemudian bertanya mereka itu sedang berbuat apa, orang-orang yang termangu-mangu itu menjawab “nous attedons Godot” (kami sedang menantikan godot). Jadi siapakah Godot? Beckett, yang mengarangnya, sendiri pun tidak tahu. (Bakdi Soemanto,1999;viii)


Nama lengkapnya Samuel Barclay Beckett. Ia dilahirkan di Foxrock, pinggir bagian selatan kota Dublin, Irlandia, pada hari jumat, 13 april 1906. Ia anak kedua dari keluarga protestan yang taat. Sejak kecil ia sudah menunjukkan diri sebagai anak yang pintar dan tampak menonjol tatkala menjadi siswa sekolah dasar di Portora Royal School.

Melanjutkan pendidikannya di Trinity College di Dublin, ia mengambil jurusan Sastra Prancis dan Italia sebagai minat utama dan mengikuti sastra Jerman sebagai minat pilihan. Disini ia bergabung dengan kelompok cendikiawan muda yang aktif menyelenggarakan diskusi. Selama menjalani pendidikannya di perguruan tinggi, minatnya kepada sastra Prancis dan Italia terus meningkat. Ia tampak bukan hanya sebagai mahasiswa yang cerdas dan berbakat mempelajari bahasa asing, tetapi juga berwawasan luas dan terbuka.

Pada tahun 1927 Beckett genap berusia 21 tahun dan ia berhasil menyelesaikan bachelor of arts. Beberapa orang guru besar mengusulkan agar ia dikirim ke Prancis melalui program echange d’ecolier untuk mengajar bahasa inggris di ecole normale superieure di Paris.

Setelah menjadi dosen selama setahun, pada tahun 1932, ia kembali ke Paris. Ia kemudian menyadari bahwa profesi guru tidak menopang kegiatan kreatifnya. Inilah alasan mengapa ia lebih memusatkan perhatiannya kepada kegiatan dan mengundurkan diri dari jagat pendidikan formal.

Di Paris, ia bergabung dengan semacam lingkaran seni, yang anggotanya termasuk penulis terkemuka, James Joyce. Itulah sebabnya, Beckett mengakui sedikit banyak Joyce ikut membentuk citarasa sastranya. Tulisan Beckett antara 1930-an dan 1940-an lebih banyak berwujud esai yang sifatnya kritik sastra, di samping beberapa puisi dan novel, diantaranya Murphy (1937) dan Watt (1938).

Melalui sahabatnya Alfy Peron, ia berkenalan dengan Suzane Descheavaux-Dumensil, yang sudah sering dilihatnya sejak 1929 sebagai pemain piano. Mereka kemudian saling jatuh cinta dan memutuskan hidup bersama. Tatkala situasi Paris semakin gawat karena Perang Dunia II, Beckett dan Suzanne meninggalkan Paris dan bersembunyi di Rousillon. Mereka tinggal ti rumah yang sangat sederhana yang dibeli dengan uang pemberian ibunya. Rumah ini sangat sederhana tanpa pemanas. Di rumah itu, sambil terus menulis, ia hidup dengan keterbatasan keuangan dan fasilitas lainnya.

Menurut pengakuan Beckett, En Attendant Godot, ditulis sebagai pelepas rasa jenuh menantikan kapan novel-novelnya diterbitkan. Sementara itu, beberapa novelnya yang ditulis pada saat Perang Dunia II tengah berlangsung digunakan sebagai “pembunuh” kejenuhan menantikan kapan perang berakhir (Bakdi Soemanto,2002;326).

Demikianlah, karya-karya Beckett ditulis dengan latar suasana proses penciptaan keadaan menunggu dan tekanan batin yang menindih. Sedemikian tertindihnya sehingga waktu seakan-akan berhenti. Karena itu berhadapan dengan waktu yang tetap, Vladimir dan Etragon (tokoh yang ada dalam lakon En Attendant Godot) masuk ke dalam suatu logika absurd yang mencekam.

Maka tak salah lagi manakala lakon Godot ini dimasukkan kedalam genre teater absurd yang menekankan penyajian hidup tanpa tujuan, yang terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Sebab lakon ini tak sepenuhnya tragedi semisal kisah Raja Oedipus. Namun kelucuannya juga tidak kocak seperti yang nampak pada lakon-lakon Anton Chekov dan komedi lainnya seperti karya George Bernard Shaw. Godot adalah sebuah kelucuan baru, kelucuan yang layak untuk ditangisi.

Sukses lakon Godot mendorong penerbit untuk menerbitkan dalam versi bahasa Inggris akan tetapi Beckett tidak menyetujuinya. Baru setelah diyakinkan perlunya versi bahasa Inggris dari lakon itu, Beckett akhirnya memutuskan untuk menerjemahkannya sendiri sebab Beckett menguasasi dua bahasa itu, bahasa Inggris dan Prancis. Versi bahasa inggris itu diberi judul “Waiting For Godot”. Hadiah Nobel untuk sastra kepada Beckett pun lebih banyak dipicu oleh lakon Godot.

Kesehatan Samuel Beckett tampak mulai mundur pada awal 1986. Dalam keadaan sakit, ia memilih tinggal di rumah yang sangat sederhana sementara lakon-lakonnya dimainkan dimana-mana. Ia meninggal pada hari Jumat menjelang Natal, 22 Desember 1989 di kota Paris.

(dimuat di Harian Pikiran Rakyat)

2 komentar:

  1. wah, sangat ,menarik sekali ulasannya. menunggu godot.
    saya pernah baca perihal serupa tp penulisnya GM. " Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan pernah terjadi…".

    hal lain yang menarik untuk diketahui adalah bagaimana perjalanan karier Kh. Godot hingga berhasil menjadi lurah fesbuk dengan 4000 warga. wow. luar biasa.

    BalasHapus
  2. wow, ulasan yang sangat keren wiangga, hehe

    BalasHapus