Lakon Satu


Di suatu masa, yang entah.

Lelaki itu berjalan mengikuti arah mata kaki melangkah. Tak tahu mau kemana. Wajah kusut. Semrawut. Acak acakan. Buku kumal ia jepit di ketiaknya. Jaket masih yang dahulu. Menyisakkan pilu. Mengendapkan sesal melulu. Masa silam yang telah berlalu.

Sebatang rokok melekat di jarinya, sesekali ia hisap. Asap menguap. Bersijingkat menuju atap langit. Selayak doa manusia berkejaran rebutan menuju meja kerjaNya. Lelaki ini kemudian memandang jauh ke atas langit biru.

Langit balik menatap dan berucap

; “jangan kau terus pandangi aku, kau tak akan menemukan jawaban. Aku sendiri, dalam kebenggawaan sepi dan sunyi. Tidak lihat, hamparanku tak berawal tak berakhir. Apa yang kau harapkan dariku?”



Di sebelah kiri terlihat seorang ibu memandikan anak. Anak yang dikandungnya selama sembilan bulan, tapi kalau tidak ada biaya buat persalinan maka usia kandungan bisa diperpanjang. Sang anak tertawa lebar. Riang! Seakan hidup miliknya sekarang. Bibirnya merekah seperti cahaya pagi hari. Indah ceria.

Ya… hidup miliknya, bukan milik orang lain. Tapi coba lihat beberapa tahun kedepan, si anak yang tadi ibu mandikan. sudah berada di pinggir jalan. Tangan mungilnya menenteng gitar kecil, rusak. Jarinya memainkan nada lirih, jeritan perih tak tertahan. Malamnya berisi keluhan, sedang siangnya bernyanyi di depan mobil sedan, bersenandung lagu sedu sedan.

Kendati demikian, mereka tetap bernyanyi dengan lincah, sebab apa yang harus dilakukannya. Selain menikmati hidup yang diberikan alakadarnya oleh Tuhan.

Sejurus di depan, lelaki itu melihat seorang kakek tua sedang melamun merajut kembali kenangan masa silam. Meski tak memiliki apa-apa, dari pancaran wajahnya terlihat semburat bijak menjalani kehidupan. Seorang pemuda lain datang mendekati kakek tua itu, maka terlihat bedanya.

Tua, muda seperti mimpi dan kenangan.

Panorama kehidupan itu disambar oleh sudut matanya sambil lalu. Mata lelaki itu memerah, seperti yang menanggung beban yang teramat jadah!

Lagi-lagi, kepalanya mendongak keatas ke langit, ingin menjerit! Seperti dulu nabi menunggu wahyu. Tapi kini wahyu telah berhenti, lantas apa yang dia tunggu. Dia juga bukan nabi. Hanya bajingan tengik.



Pagi hari, penduduk kali itu melakukan aktivitas biasa. Kakek menunggu dan melamun. Ibu memandikan anak. Anak mengamen. Tapi saat ini beda, karena mereka harus mengurusi mayat seorang lelaki kumal yang tak berkeinginan.

Langitpun bisu.
Namun tetap biru.

***

LAKON SATU


(Sebuah Rumah. Duduk seorang lelaki di atas kursi. Di samping kirinya sebuah meja biasa, di atasnya ada gelas putih, sepiring roti, dan sepoci kopi. Cahaya redup. Tepat menyorot ke arahnya. Lelaki itu merenung. Kepalanya tertunduk. Kedua tangan menopang dirinya di atas dua kakinya. Diam di posisi itu selama 10 detik. Lambat laun badannya tegak. Seperti keletihan. Namun kita belum jua bisa menyaksikan dengan jelas wajahnya karena topi bulatnya menutupi sebagian wajahnya)



Lelaki itu : Akulah Maman. (dengan sangat pelan. Kita mendengarnya seperti bisikan. Namun tiba-tiba dengan lantang lelaki itu berteriak! Dengan nada yang sangat keras namun serak)

Maman : (memulai monolog. Dengan nada suara yang sangat keras, tegas dan sarkas) Akulah Maman. Maman Gorky! Akulah lelaki itu. Lelaki yang sudah kalian semua dengarkan prolognya dari si bangsat Hermann!!

(tiba-tiba, nada suara Maman menurun) Penggambaran yang sangat miris…

(nada suara naik lagi, melebihi yang tadi) Dasar Anjing Kurap!! Kalian tau??? Narasi yang baru di bacakan, itu adalah kepunyaanku! Si Hermann nyolong narasi itu dari pembukaan cerpen “Ngangkang” yang pernah aku buat. Hahahaha.

(Dia mencari sesuatu di saku jaket nya. Dia menemukan, sebuah rokok. Mulai merokok. Pada hirupan kedua, Maman mulai bicara lagi, kembali, nada suara Maman menurun) Tapi tak apa, aku bukan tipe orang yang suka menuntut, dan melaknat. . Karena dengan demikian, si Hermann sudah mengakui kehebatanku dalam menulis. Itu yang paling penting! Sekalipun tak satupun tulisanku yang pernah di muat di Koran, tetapi aku lebih bangga kalau tulisanku itu di terbitkan dalam tindakan!

Dasar keparat! Ya para penerbit laknat, bejat! Jahanam! Mereka telah membuat aktivitas menulis menjadi arena kapitalis. Semua orang berburu menulis untuk di terbitkan. Padahal kalian tahu? (menghisap rokok) Menulis itu adalah perbuatan seorang spritualis!

Tapi sayang, hanya sedikit orang yang mengetahui perkara itu. Termasuk temanku, si Godot Bandot! Hahaha! Dia juga tidak mengetahuinya.

Anjing!

Kakiku sakit sekali. (menoleh ke arah kaki kanannya) mungkin ini pengaruh sepatu keparat yang ku rampok di mesjid itu. Mereka bilang jangan merampok di mesjid, itu dosa. Hahahah! Aku sudah tidak mengenal apa namanya dosa sodara! Juga pahala!

Ya.. ya… ya… ya… sorga dan neraka. Petuah jadah, anjing!

(tenang) Hmm… apa yang sudah kalian dengar di si Godot tentangku?... (tersenyum) dia memang melankolik, itulah makanya dia cukup cerdik dalam mengulik perasaan, mengaduk aduk nuansa peristiwa. Hahahahah… aku juga pernah dulu begitu, sodaraku. Tapi aku pensiun, hidupku tidak cukup hanya dengan melankolik saja.

(menghisap rokok) hidupku pelik!

Sodara! Mungkin kalian menganggap aku terlalu berlebihan, tetapi sini kubisikan pada kalian. Sebuah rahasia(berdiri, maju kedepan. Lantas berteriak lagi-lagi dengan sangat pedas) ANJIIIIING..!!!!!

(kembali duduk di kursi seperti sedia kala,) hahaha, bagaimana rasanya? (pause, menunggu reaksi) Begitulah hidup!... hahahah...

kalian mungkin muak dari tadi aku terus mengoceh tentang hidup. Tapi itu anjing yang paling dekat dengan urat nadi kita. Bukan Tuhan seperti yang di ocehkan ustad sialan! Bukan juga sajak! Makan tuh sajak anjing kalau kalian kenyang dengan aksara yang kalian ciptakan itu, makan tuh pujian dari orang-orang!(kembali menghisap rokok)

anjing!

(tiba-tiba muncul seorang bocah kecil, dia datang tergopoh-gopoh. Maman menoleh kearahnya)

Maman ; apa tengik?

(si bocah tidak berbicara, dia hanya membawa sepucuk surat)

Maman ; apa surat lagi??????

(si bocah mundur, gemeter, berdiri di tempatnya. Maman merogoh saku celananya)

Maman ; sini bajingan kecil, tak usah takut,.. (si bocah maju menerima uang dari Maman dan lekas keluar. Maman membuka surat. Situasi hening. Maman membaca surat sampai tamat.)

Maman ; Anjing Godoooot!!!



LAYAR

0 komentar:

Posting Komentar