Kritik

Anda tahu kritik. Kritik adalah sesuatu yang sangat menyakitkan, apalagi kalau yang dikritik itu ada dalam diri kita. Terlebih lagi kalau kita dikritik oleh seseorang yang berada di bawah kita, entah itu jabatan, umur, pengetahuan, pengalaman. Kalaulah tidak mengenyam peribahasa; kalau yang keluar dari pantat ayam itu telur ambil saja di lain perkataan ambil saja kebenaran dari manapun asalnya, sekalipun dari seseorang yang di bawah kita.


Tapi apa lacur, pepatah tinggal pepatah, hati yang dikritik tetap sakit dan meminta untuk membalas. Itulah kritik kadang membelah, membeset dan mengeluarkan selubung bahwa memang kita manusia tidak sempurna pasti memiliki kesalahan. Pengkritik dan yang dikritik ibarat dua mata pedang yang masing-masing siap menerkam dan menerjang menunggu salah satu dari mereka lengah. Ketika kesempatan datang, pedang itu menusuk masuk secara frontal mencabik-cabik, mencacah habis tubuh langsung mati. Tetapi ada juga dengan jalan yang sangat halus, tak terdengar seperti racun tubuh HIV sedikit demi sedikit menjalar, seperti racun ular membuat kekuatan tubuh kita lemah, seperti gerogotan tikus kali yang menjijikkan, begitulah kritik akan datang kepada objeknya dengan berbagai macam cara. Ada yang baik, jelek, langsung, tidak langsung tetapi tujuannya adalah 'membunuh'.


Objek pengkritik biasanya adalah seorang pemimpin, ketua atau selalu berkait dengan posisi, jabatan di structural. Kalau di pemerintahan presidenlah objeknya, kalau dalam kegiatan belajar mengajar guru atau dosen. Biasanya kalau ada sesuatu yang tidak beres, maka kritik datang seperti tahu di mana tempat yang membutuhkannya. Pada zaman rezim orba, kritikan diredam dengan mantra subversiv. Sekali-kali ada yang ngomong maka akan diberangus, biasanya dengan menggunakan alat militer dalam mengunci diam para pengkritik. Tetapi anehnya setelah kematian para pengkritik yang pertama maka akan tumbuh benih-benih pengkritik yang lain, sekali esa hilang seribu terbilang, mati satu tumbuh seribu.


Begitulah tukang kritik akan terus bermunculan. Subjek pengkritik biasanya berlandaskan dengan ruh idealisme, misalnya dia mengkritik aturan organisasi yang nggak bener, karena idealnya seperti begini…begini dan begini. Lantas yang dikritik paling juga meredam dengan perkataan "tolong kalau dalam rapat selanjutnya tidak terlalu dibahas persoalan yang akan merusak semangat kerja dan optimisme memperoleh hasil, lebih baik kita bahas rencana selanjutnya yang lebih konkret". Itu juga dikatakan setelah pulang kunjungan dari negara tetangga, padahal dia sendiri tidak tahu kenapa terjadi kekalutan itu. Lagi-lagi itu hanya untuk menjaga pamor dia sebagai pemimpin, pemimpin 'kan harus bijak? Jadinya sok bijak!


Memang urusan kritik tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan. Dan kepentingan sangat terkait erat dengan politik. Kalau dalam tataran akademik kritik bisa menjadi sumbangsih perbaikan, sebab yang dikritik dan pengkritik sama-sama beradab. Ngarti. Lain lagi kalau sudah masuk dalam wilayah politis. Pengkritik dan yang dikritik sama-sama biadab. Iyalah…! yang satu kepengen posisi yang lain kepingin jabatan akhirnya gontok-gontokan. Sampai mati pun tak kunjung selesai. Lalu bagaimana kalau beradab mengkritik yang biadab? Atau sebaliknya; Bagaimana jadinya?


Yang beradab ngotot karena idealismenya, yang biadab berkelit karena kritikan itu akan membahayakan posisinya. Padahal dia mengkritik karena memang ada yang nggak beres dengan keadaan, yang di kritik bukan tidak tahu ada yang tidak beres. Tapi tidak mau tahu, yang dia tahu posisinya terancam. Maka sebisa mungkin di berkelit agar terbebas dari ancaman itu. Hal ini sering terjadi antara birokrat dengan seniman, ilmuwan dan kalangan akademisi.


Eksesnya adalah timbul kesamaran dalam otoritas, kepercayaan rakyat sudah mulai luntur kepada pemimpinnya sebab selubung kejahatannya sudah disibakkan. Nah, yang menyibakkan kemudian mendapat giliran kepercayan. Maka akan timbullah pemimpin formal dan informal. Pemimpin formal adalah pimpinan dalam structural yang sah, pemimpin informal biasanya orang yang dikolotkan karena kharisma, kemampuan dan pengetahuannya. Kejadian ini terjadi pada Negara kita beberapa tahun silam, ketika Amin Rais dibaptis menjadi bapak reformasi dengan dukungan Iwan Fals sebagai suara sumbang nan melengking dari rakyat bawah.


Dan hal ini tidak sehat, dalam sebuah kepemimpinan dua orang yang memegang otoritas sama akan menimbulkan kekacauan. Rakyat kapan diurusnya. Inilah ampuhnya sebuah kritik, coba kalau kita berandai-andai setiap orang menerima kritik dari pihak luar dengan legowo kejadiannya tidak akan seperti ini. Kenapa sih kecenderungan orang tidak menerima kritik? Kritik itu menyakitkan, siapa sih manusia yang menginginkan hatinya sakit. Biarpun Rumi berkata kekecewaan dan keluhan adalah sejenis rasa sakit. Dan sepanjang adanya rasa sakit itulah masanya ketika seseorang benar-benar dalam keadaan sadar. Manusia yang paling sadar adalah dia yang paling banyak merasa sakit. Dan yang paling cerdas diantara mereka adalah yang paling nampak kepucatan.


Kalau dilihat dari sajak Rumi, mungkin benar manusia itu banyak yang nggak nyadar; sadar bahwa kita tidak selalu benar, sadar bahwa jabatan pemimpin bukanlah jabatan sebagai artis yang mementingkan popularitas tapi sebagai amanah yang mesti dirampungkan, sadar bahwa kita nggak banyak tahunya jadi jangan sok tahu, sadar bahwa kita nggak hidup sendiri jadi jangan main hakim sendiri, sadar…sadar dan kesadaran lainnya yang mesti segera kita sadari. Sebab kisah satu manusia sama dengan kisah seluruh manusia. Akhirnya Rendra berkata kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Jadi, sudah kah kita melaksanakan kata-kata yang pernah kita ucapkan, sudahkan kita merampungkan janji kita. Kade ah bilih omong kosong…tong siga presiden anu atos-atos, bilih ieu mah ngawartosan we, bilih…Wallahu A'lam.

0 komentar:

Posting Komentar