Pegawai Bank



Satu

Tadi siang aku mendapatkan telepon di suruh untuk menyetorkan sejumlah uang. Tanpa basa basi lagi, langsung aku tarik motor, melesat pergi ke bank yang di maksud. Sesampainya di sana, ku simpan motor di ruang parkir yang paling dalam, untuk menjaga keamanan. Soalnya aku tidak begitu hapal situasi di daerah sini.

Ketika masuk, aku di sambut oleh dua mesin ATM yang di depannya sudah ada antrian yang cukup panjang, sekira lima orang di satu mesin ATM, jadi ada sepuluh orang yang antri di sana. Masuk sedikit, menjorok ke kanan, di sekat oleh satu tembok, ruang tunggu itu pun sudah di jejali oleh orang-orang yang menunggu. Mereka yang menunggu masing-masing sudah memegang karcis antrian, satu orang satpam bertugas memanggil nomor yang tertera di karcis itu.
Yang dipanggil langsung maju ke meja dimana ia berkepentingan; ada yang ke customer sevice, financial consultant, dan lain sebagainya.

Biar rapi. Budayakan antri, begitu slogan salah seorang cawapres yang kalah pada pemilihan pemilu kemarin.

“empat puluh satu!” seru satpam. Maka bapak yang memakai baju batik Pekalongan dengan peci hitam dan celana hitam pun berdiri, maju ke meja customer service.
“ada yang bisa saya bantu pak?” jawab Mbak Poetry ramah.

Tuan pasti heran? Darimana aku bisa mengenali perempuan berparas jelita berkulit putih berkacamata itu. Tuan, jangan salah sangka dulu. Aku mengenalnya dari papan nama yang menggantung di dada kirinya, setelah kusidik-sidik, namanya Poetry.

Nama yang sangat indah bukan tuan? Mengingat dalam bahasa Indonesia kata “poetry” diartikan sebagai puisi. Dalam masyarakat kita, Indonesia, memberi nama anak dengan nama “Puisi”, bisa dikatakan berani. Tetapi tidak dihitung luar biasa jika memberi nama Putri.

Hmmm. Tuan memiliki keinginan untuk memberi nama anak tuan Poetry (baca; Putri), layak di coba.

Dua

Di ruangan utama bank, yang cukup untuk hidup keluarga berencana, itu sudah di sesaki oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan yang bermacam-macam. Seperti yang sudah aku tadi bilang, tuan. Beberapa orang sudah berjejer di depan mesin ATM, sementara di labirin antrian sudah ada yang antri pula. Tadinya aku mau keluar lagi, tapi itu tidak menyelesaikan masalah. Tokh pas datang tidak ada yang menjamin antrian itu bakal berkurang atau kosong. Ya, mau tidak mau, tuan. Aku terhanyut dalam antrian itu, setelah mengisi aplikasi transfer.

Tuan, di negara kita ini, ternyata banyak juga orang yang punya uang. Buktinya, di sebelahku, antrian nya para penabung, banyak juga yang mau menyimpan uang. Ku perhatikan hampir semua hitungannya jutaan, bukan ratusan lagi. Hmmm…

Di depanku masih ada lima orang lagi. Tapi, tuan, seperti yang anda tahu sendiri. Aku begitu akrab dengan perkara menunggu. Di zaman sekolah dulu, selama hampir dua tahun aku menunggu keputusan dari seorang perempuan setelah aku menyatakan “cinta” kepadanya. Sewaktu kuliah, perkara menunggu ini, berpindah kepada bis damri. Selepas kuliah, aku menunggu pekerjaan. Selepas bekerja dan mendapatkan seorang perempuan yang menerima pernyataan cintaku, kini aku di suruh menunggu antrian untuk transfer?
Hehe. Maaf tuan, itu urusan yang sangat sepele bagiku.

Tapi ternyata tidak bagi seorang bapak yang ada di depanku. Perawakannya pendek, botak, memakai kacamata. Dari tadi kuperhatikan dia terus menerus melirik jam. Aku pikir, kalau jam tangan itu mengganggunya, kenapa tidak dilepas saja, seperti halnya aku yang mulai membiasakan diri tidak memakai jam tangan. Ah, sayangnya dia tidak memiliki pikiran itu.

Jam dinding, Aha? Anda memiliki selera humor juga. Tentu aku tidak segila itu, membawa jam dinding kemana-mana.

Tiga

Hmmm. Tuan, entah apa yang terjadi pada bumi ini? Aku melihat berita gempa di televisi—yang sengaja oleh pihak bank di simpan di juru paling atas persis di depan antrianku—sungguh sangat mengerikan. Mari kita sama-sama berdoa untuk mereka.

Antrian sudah mulai berkurang, tinggal satu orang di depanku. Aku siapkan uang yang akan aku transfer.
Namanya Harry, teller yang melayaniku. Dia sangat rapi, memakai kemeja putih, potongan rambutnya belah sisi, berkacamata. Harry menyalamiku dengan senyuman yang sangat renyah, menanyakan apa kepentinganku. Aku pun menjelaskan.

Kata Harry, uang itu tidak bisa langsung sampai karena beda manajemen dengan bank yang aku tuju.

“paling dua hari” katanya. Tapi tak menjadi soal. Tokh aku tidak terburu-buru. Harry menjelaskan prosedur pentransferan, aku menyimak. Aku pun mengeluarkan sejumlah uang seperti yang tertera pada aplikasi pentransferan. Harry memintaku untuk memisah sejumlah uang lima jutaan sendiri-sendiri.

Tentu aku menurutinya, namun aku melakukan kesalahan. Aku malah menumpuk uang itu, tidak lima jutaan, kutumpuk saja seenaknya. Dalam sangkaanku, tuan, bukankah di belakang Harry ada mesin penghitung uang, kenapa tidak dihitung saja dengan alat modern itu?

Aku tahu Harry kesal kepadaku, karena uang yang mau aku transfer cukup banyak. Dan kelalaianku membuat pekerjaan Harry tidak efektif. Tapi disinilah aku memetik pelajaran, tuan. Ada yang menarik dalam pribadi Harry. Sekalipun dia kesal padaku—aku tahu itu, sungguh aku merasakannya—tetapi kekesalannya itu dia sampaikan dengan cara tersenyum. Sungguh, tuan, keterampilan yang memerlukan latihan berkali-kali dan patut kita tiru. Dan, gaya menghitung uangnya, tuan! Sungguh Sangat terampil, layaknya seorang pemain sirkus yang sedang mempertontonkan kebolehannya. Akrobatik!

Sesaat setelah Harry menghitung uang secara manual, ada pikiran yang bekelebat di depan kepalaku. Uang itu, tuan? Bagi sebagian orang adalah dewa, bagi sebagian nya lagi adalah berhala, prahara atau bahkan malapetaka. Tapi bagi Harry, .. nampaknya hanya sebuah kertas biasa, yang kalaupun disobek bakalan robek.

Harry pun tetap tersenyum setiap hari.

Empat

Di sebelah Harry, ada… yang ini aku samar mengingatnya. Hmmm. Sebut saja namanya Mba Mela. Nampaknya Mba Mela ini mesti belajar banyak sama Harry dalam melayani konsumen. Senyumnya terkesan di paksakan, tapi tidak semanis Monalisa bahkan lebih mirip lukisannya Joseph Beuys, dan itu kurang bagus untuk front office.

“mba voucher di simpan dimana?” tanya rekan kerjanya pada Mba Mela.
“Wis aku simpen di lemari” jawabnya. Rekan kerjanya itu pun membuka lemari yang ditunjukan sama Mba Mela, ternyata voucher itu tidak ada.
“nggak ada mba, “
“aku sudah simpen disana kok?” jawab Mba Mela. Kemudian mereka berdua saling menatap. Posisi Mba Mela sangat innocent, sementara rekan kerjanya seolah sedang mencari kambing hitam.

Aku hanya menyimak tuan. Rekan kerja itu kemudian kembali ke meja nya, dan Mba Mela pun kembali melayani konsumen. Ada sebuah peperangan itu terpaksa di sudahi.

Di sebelah kiri ku, tepat di meja rekan kerja Mba Mela tadi, berkumpul tiga orang; dua orang laki-laki satunya rekan kerja Mba Mela. Mereka seperti sedang memecahkan masalah.

Sembari melayani konsumen, Mba Mela menyempatkan diri bertanya pada Harry, yang posisinya persis di depanku, hanya terhalang meja teller.

“selisih berapa sih?”
“seratus juta” jawab Harry pelan.

Tidak beberapa lama, seorang bapak sedikit tambun keluar dan mendatangi meja rekan kerja Mba Mela.

“gimana udah beres?” tanya bapak itu,

. . .

Sayangnya, tuan, aku tidak sempat mengetahui bagaimana akhir riwayat yang ada di bank itu, karena setelah bapak yang tambun itu datang. Harry telah menyelesaikan pekerjaannya, dan memberiku bukti transfer.


Pemalang, 51009

0 komentar:

Posting Komentar