UNGGUT

UNGGUT


Musik fade in, (shufar masuk)

Shufar : kisah hidup tak lain adalah cerita tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Menunggu dan ditunggu. Menunggu adalah pekerjaan payah, ditunggu bukannya juga tak lelah. Apa lagi menantikan sesuatu yang diharapkan, ternyata suatu pengalaman yang bisa terjadi di mana mana. Beberapa orang teman saya, dengan khusuk menantikan datangnya Imam Mahdi. Yang lainnya, diam-diam menantikan datangnya Yesus yang kedua kalinya. Mereka yang suka merenungkan filsafat kejawen, diam diam menantikan datangnnya Ratu Adil. Orang Jepang menantikan datangnya masa depan yang lebih indah.



Lakon yang anda akan saksikan sekarang, meski bernada pesimistik, sebenarnya terkadung keberanian luar biasa untuk mempertahankan kesetiaan menunggu sesuatu yang diharapkan. Dengan lakon ini semoga membantu kita untuk tetap setia kepada sesuatu atau seseorang yang kita nanti-nantikan. Karena sungguh, kita sangat memerlukan dorongan semangat untuk bisa menjaga daya hidup. Untuk membuat kita lebih berarti, untuk membangun peradaban. Sebab, milik kita yang paling berharga hanya itu.

Musik fade out, Shufar keluar.

Narator : saga, merah saga mata merah menyala adalah semangat kerja. Kata, kata suara berkata kata menancap bumi. Menggurat takdir dari titik nadir. Membelah langit! Membelah bumi!!

Terdengar suara cambukan. Sani mencambuk Ofik. Tetapi belum masuk panggung. Terdengar erangan dan jerit kesakitan. Masuk panggung. Sani menggusur Ofik. Sani berbadan tegap. Berwatak keras dan sinis. Ofik lemah lunglai gontai. Tetapi penuh semangat darah api kerja membara. Sani masuk ke depan, duduk di bangku. Menyalakan rokok. Meminum bir. Menyalakan rokok. Bingung. Kesal.

Narator : kalau sampai waktuku. Ku mau tak seorang kan merayu. Tak perlu sedu sedan itu. aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Biar peluru menembus kulitku aku akan meradang. Menerjang. Luka. Dan bisa kubawa berlari. Berlari! Hingga hilang pedih peri. Dan aku lebih tidak perduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi !!! [Aku. Ch.Anwar]

Sani : (menghadap ke Ofik) kau tahu … siapa namamu (ofik menengadahkan sinis, tidak menjawab) oh ya ! sastra, bukan… satria. Ya satria! Nama yang bagus, kau tahu? Baru kali ini aku merasa. Merasa susah untuk membunuh!

Ofik : untuk mati adalah hal yang gampang. Tetapi untuk hidup membutuhkan keberanian ! dan kau tidak akan mengerti hal itu.

Sani : hidup… mati, apa yang kau tahu tentang itu? yang kau bisa hanya membual! Merangkai kata.

Ofik : memang, rumahku kubangun dari unggun timbun sajak. Kaca jernih dari luar segala yang nampak. Tetapi kataku tidak hanya sebatas kata! Kataku berwujud nyata. Bukan asap yang hanya sekali menguap kemudian hilang seperti kentut! Bagiku perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Camkan itu!

Sani : sombong sekali kau jadel! (sani mendekati ofik. Ofik mengeram. Sani menerjang dan kedua sama berteriak) ah…! Apakah ini celaka atau tidak? Tapi jadel brengsek! Aku masih percaya bahwa apa yang tercipta di dunia ini tidak ada satupun yang sia-sia. Bahwa apa yang telah lewat terjadi…tidak juga dalam kesia-siaan. Dan apa yang terjadi sejatinya berkaitan. Satu sama lain. Pertanyaan besar yang aku pikirkan sekarang ini adalah; kenapa aku tidak bisa membunuhmu. Kenapa aku tidak bisa membunuhmu?

Ofik : kau tahu kenapa … (berbicara sinis. Sani mendekat)

Sani : kenapa ?

Ofik : hah …! karena aku tak hanya sekali berarti. Aku akan lebih berarti dan harus berarti lagi. Aku tak mau hidup seribu tahun lagi.

Sani : hah … omong kosong ! lagak kau seperti jadel penyair itu. buktinya dia mati! (menyalakan rokok) kau tahu … semenjak kecil aku sudah mengalami hidup hitam dan keras. Pembunuhan yang pertama kali kulakukan, ketika aku berumur 14 tahun. Aku membunuh orang yang mengontrakkan rumah kepada orang tuaku. Saat itu … orang tuaku tidak bayar uang sewaan kurang lebih lima bulan karena mereka harus membayar uang sekolahku. Mereka mempunyai prinsip, lebih baik tidak punya apa-apa daripada mempunyai anak yang bodoh. Karena aku adalah anak tunggal mereka. Aku adalah tumpuan hidup mereka.

Pemilik rumahpun melakukan perjanjian akan menangguhkan sampai bulan depan. Tetapi sayangnya iblis telah meniup ubun-ubunnya, sehingga sebelum bulan yang disepakati sampai, ternyata kami harus mengosongkan rumah. Waktu itu ayahku sakit keras. Kami terlunta-lunta di jalanan. Seminggu setelah terusir, ayahku mati di jalanan, ibuku stress kemudian gila.

Setelah itupun aku hidup dijalanan. Satu dendam yang harus ditunaikan dalam pikiranku adalah membunuh orang yang telah mengusir. Kau tahu jadel? aku membunuhnya dengan sangat sadis. Dendam darah terlaksanakan. Tetapi aku harus membayarnya dengan mendekap di tahanan. Selama bertahun tahun. 

Dan kemudian, kau bisa menerka. Aku menjadi pembunuh darah dingin. Sekarang berdiri di depanmu….

Tetapi yang kuheran sekarang adalah … kenapa kekuatan membunuh sekarang itu hilang. Seolah-olah aku tidak boleh membunuhmu. Padahal kau bukan nabi. Bukan tuhan. Kalaupun kau mereka aku tak segan untuk membunuhnya.

Ofik : bukan kematian benar menusuk kalbu. Keridlaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu di atas debu. Dan duka maha tuan bertahta.

Sani : ringan sekali omonganmu itu jadel… ah ya! Pantas saja kau meresahkan bos-bosku. Mereka para birokrat keparat, memang tidak suka kepadamu jadel! Tetapi aku suka kamu. Kamu dengan berani melenggang, menerjang menyuarakan kebenaran tanpa beban. Dan yang paling aku salutkan adalah omonganmu, tidak kosong…! mungkin karena itulah aku menjadi segan untuk membunuhmu. Sebab memang orang seperti kau diperlukan di dunia ini. Tetapi sayangnya kita sama, aku juga memegang omonganku. Dan omongan itu adalah aku akan membunuhmu.

Ofik : hidup hanya menunda kekalahan. Kau juga sudah tahu bahwa aku akan hidup seribu tahun lagi.

Sani : jadel … kau tahu kenapa aku dikenal dengan pembunuh darah dingin. Sebab kataku selalu nyata, kalau aku membunuh orang aku akan. Kataku adalah tindakan.

Ofik : kelana tidak bersejarah. Berjalan kau terus! Sehingga tidak gelisah. Begitu berlumuran darah.

Sani : kuanggap kita sepakat. Alam semesta dalam kata semua dalam kerja.

(sani mulai mendekat membentak sambil menghajar muka ofik yang sudah kuyu. Ofik sampai terlempar melayang membentur dinding jeruji besi jatuh. Berkali-kali)

Ofik : hayuh … ! pukul lagi, kita lihat siapa yang lebih dulu menyerah pada kebinatangan ini. Biar kulitku robek menganga membuncah darah. Biar peluru menembus kulitku sekalipun, aku akan tetap meradang menerjang!.

(Sani terus memukul menyiksa tanpa bicara)

Ofik : aku bilang … luka dan bisa ini akan kubawa berlari bersama seluruh juta manusia. Sampai hilang pedih peri. Dan kamu sendiri mampus di ujung pedang yang kau asah sendiri. Kawan, mari kita ayun pedang ke dunia terang.

Sani : jadel … !

Ofik : elan vital … ! wahyu wahyu ada dua. Sekali berarti sesudah itu mati...!

(sani terus menyiksa, tiada akhir. Tiada tara. Menggusur ofik. Mengganyang … ofik terus meraung mengeram! Keluar … )


Narator : bukan maksudku mau berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing masing. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku. Aku memang tidak bisa lama bersama. Ini juga kutulis di laut tak bernama.

Shufar : kisah yang tidak penting, begitukah yang anda katakan? Sudah pasti, Cuma saya perlu waktu lama untuk melupakannya. Itulah yang penting. Biar begitu saya punya banyak alasan. Saya membiarkan diri saya dihajar tanpa membalas, tetapi saya tidak bisa dituduh pengecut. Dalam keadaan terkejut, dimaki dua arah saya benar-benar kebingungan. Tetapi bukankah kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia. Mungkin kali ini adalah kisah teman saya namun di lain waktu siapa yang menyangka kalau itu akan menjadi kisah anda sendiri. Apa yang akan kita lakukan? Itulah permasalahannya, kita tidak pernah bersikap kepada orang lain dengan dengan mengukur keinginan kita diberi sikap. Bersikaplah sebagaimana kita ingin disikap, karena itulah inti ajaran kemanusiaan.

Hidup selalu saling berkait, siapa sangka yang kita kenal sebagai musuh adalah anak, kakak ayah atau bahkan adalah kita sendiri.

Musik fade in,

Hutan. Di bawah pohon. Entah siang atau malam hari.

Hendra : (bicara sendiri) bengong lagi. Menganggur lagi. Saya akan mulai merumuskan. Pikiran itu. sepanjang hidup saya mencoba melakukan dalam hati saya berkata hendra gunakan akal sehatmu (mengernyit seolah-olah sedang berpikir)
Omen : saya?
Hendra : senang melihatmu lagi. Saya kira kamu akan pergi seterusnya ?
Omen : sama-sama
Hendra : akhirnya kita bersama lagi. Ini harus kita rayakan. Bagtaimana ? kemarilah biar kupeluk kamu.
Omen : tidak. Tidak jangan sekarang.
Hendra : tersinggung sinis. Dapatkah dimana yang mulia menghabiskan malam?
Omen : dalam selokan?
Hendra : selokan? Dimana?
Omen : Disana.
Hendra : dan mereka tidak mengusirmu?
Omen : mengusirku? Tentu saja mereka mengusirku.
Hendra : sama seperti biasanya.
Omen : sama? tak tahulah. Kalau saya pikirkan perkara ini … tahun-tahun terakhir ini … tapi bagi saya sendiri. Dimana kita akan…? Pada detik ini kita tidak lain kecuali seonggok tulang- yah… tak ada keraguan lagi.
Hendra :apa maksudmu dengan renungan itu ?
Omen : ah … bukan apa-apa! … ngomong-ngomong masih suka makan katak?
Hendra : tidak !
Omen : kodok ? atau … mungkin sekarang menu kamu sudah berganti ... kadal? Bangkong.
Hendra : ngawur kamu! aku nggak pernah makan katak, kodok, Bangkong apalagi kadal.
Omen : berarti kamu lebih suka katak daripada kadal ya ?
Hendra : sudah kubilang aku nggak pernah makan binatang-binatang itu.
Omen : binatang apa? Malu ya … menyebutkan namanya. Sudah nggak usah mungkir. Perut mu yang berbicara padaku.
Hendra : ah terserah asal kamu senang!
Omen : jadi enak mana kodok sama katak.
Hendra : sudah kukatakan aku nggak pernah makan kodok, katak, kadal dan binatang lainnya.
Omen : benar…?
Hendra : benar!
Omen : bagaimana kalau ayam, ikan, sapi … kau juga belum pernah memakannya?



Hendra : sudah! Ganti topik pembicaraan jangan ngomongin masalah makanan lagi. Kamu itu kalau sudah ngomong ngelanturnya, nggak ketulungan!
Omen : hmm…apa bedanya sih kodok sama katak?
Hendra : tidak tahu. Jangan tanyakan padaku… ah sudahlah. Berhenti bertanya terus, Bantu saya melepaskan barang belepotan ini
Omen : melepas sepatu. Apa kamu tidak pernah melakukan hal yang seperti ini?
Hendra : tolonglah…
Omen : sakit ya?
Hendra : sakit? Kau bertanya apa ini sakit?
Omen : marah ya?
Hendra : marah? Kamu bertanya apa saya marah?
Omen : sudah … saya Bantu.
Hendra : mau Bantu kenapa diam saja.
Omen : saya membantu dengan do’a.
Hendra : apakah do’a bisa membukakan sepatu saya. Kamu kira Tuhan tidak ada pekerjaan lain apa? sehingga Dia harus repot-repot mengabulkan do’a kamu.
Omen : siapa tahu Dia punya sepatu. Atau mungkin kamu mati ketika membuka sepatu itu.
Hendra : ah…(lega) akhirnya terbuka juga…
Omen : ehm saya punya gagasan … mari ikut saya.
Hendra : kita tak bisa pergi.
Omen : mengapa tidak?
Hendra : kita menunggu Godot.
Omen : ah iya…!kamu yakin memang disini.
Hendra : maksudmu?
Omen : tempat kita menunggu?
Hendra : ya saya tak mungkin salah.
Omen : mungkin kita salah tempat.
Hendra : dia mestinya kesini.
Omen : Dia tidak bilang pasti akan datang
Hendra : lalu kalau betul ia tidak datang.
Omen : besok kita akan balik lagi ke sini.

Mematung. Dibelahan dunia lain. Belum masuk panggung

Yuki : Kita harus tepat waktu. Tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat. datang. Dogot sama sekali tidak suka orang yang tidak tepat waktu. Harus tepat setepat-tepatnya.
Imas : Kita harus bergegas kalau begitu. (musik fade in)

Masuk panggung.

Yuki : Siapa bilang begitu? Harus tepat waktu! Sudah kubilang, terlalu cepat juga tidak tepat waktu waktu.
Imas : Tapi ‘kan bisa menunggu sampai Dogot muncul, kalau kita terlalu cepat sampai. Jadi bergegas saja?
Yuki : Kamu tahu siapa Dogot ?
Imas : Peduli amat!
Yuki : Benar juga, tapi kalau kau tidak tahu. Bagaimana kita bisa tahu itu Dogot kalau nanti ketemu ?
Imas : Lho tadi kau bilang kita ditunggu Dogot
Yuki : Begitu.
Imas : Mungkin.
Yuki : Tapi kan, kita ini ditunggu. Jadi tak peduli, kita kenal atau tidak siapa yang menunggu. Yang jelas adalah kita ditunggu Dogot. Siapa itu Dogot? Itu bukan urusan kita, bahkan apa yang menunggu itu Dogot atau apa. Itu juga di luar urusan kita. Tapi enaknya Dogot saja yang menunggu kita. Ya kan?
Imas : Dari mana kau tahu kita ditunggu?
Yuki : Peduli amat!
Imas : Kalau begitu kita ditunggu atau tidak di tunggu? sama saja
Yuki : Begini, kalau ada yang ditunggu, tentu harus ada yang menunggu.
Imas : Dari mana kau tahu ?
Yuki : Peduli amat
Imas : Kalau begitu, tidak usah ditunggu sajalah… biar enak!
Yuki : Tidak mungkin! Kau bisa membayangkan dunia yang tidak ada yang menunggu dan tidak ada yang ditunggu? Apa yang akan kau kerjakan coba? Begitu saja kok susah!


Imas : Kau saudaranya Dogot, ya ?
Yuki : Tai kucing!
Imas : Jangan marah, ditunggu kok malah marah. Yang menunggu boleh marah. Begitu logikanya ya 'kan? … Dogot itu saudaramu ya ?
Yuki : Sontoloyo !
Imas : Bapakmu ?
Yuki : Jangan Begitu
Imas : jangan-jangan Dogot itu saudara tirimu ya nggak? Jangan kura-kura dalam perahu. Jangan pura-pura tidak tahu, saudara tirimu kan?
Yuki : tai kucing !
Imas : punya saudara tiri saja kok malu… Lihat itu ada pesawat terbang lewat!
Yuki : apa urusannya?
Imas : katanya ditunggu…Pesawat terbang penting dong ‘kan ditunggu
Yuki : maksudmu…menunggu pakai pesawat terbang?
Imas : pakai akal sehat sajalah! Pesawat terbang itu urusan yang ditunggu, bukan menunggu
Yuki : itu bukan urusan cepat-cepatan. Ini urusan tepat waktu. Harus tepat!
Imas : kalau begitu kau saja yang ditunggu … aku tidak.
Yuki : tidak bisa! kita berdua ditunggu. Bukannya aku ditunggu dan kau tidak ditunggu.
Imas : lho kok, tidak boleh memilih ?
Yuki : memilih apa ?
Imas : ya memilih tidak ditunggu, kalau pakai akal sehat 'kan boleh memilih? kau memilih ditunggu, aku memilih tidak ditunggu. Masalahnya jadi beres kan ?
Yuki : kita ditunggu! bukan aku saja, kau juga! akal sehat berbunyi : jika ada yang menunggu harus ada yang ditunggu. Kau dan aku ditunggu mau tidak mau … itu baru akal sehat namanya.
Yuki : waktu kereta mendesis meningggalkan stasiun, dan orang-orang melambaikan tangan tanda perpisahan. Tukang peluit melambaikan tangan padaku sambil berteriak “ingat kau ditunggu!” aku lihat kiri kanan, jangan-jangan … bukan aku yang dimaksudkannya, tetapi seorang ibu tua di sampingku bilang tukang peluit itu melambaikan tangan padaku “masih saudara ya?” Tanya ibu tua itu. Ia tidak memperhatikan gelengan kepalaku sampai stasiun tak tampak lagi. Tukang peluit itu masih melambaikan tangannya dan seperti kudengar suaranya “ ingat kau ditunggu!”
Imas : jadi ia saudaramu ya ?
Yuki : waktu di bandara tempo hari, petugas tiket itu membisikkan sesuatu padaku “saudara ditunggu, jangan lupa !” aku tak sempat menanyakan hal itu sebab calon penumpang yang antre di belakangku tampaknya tergesa-gesa dan aku di desaknya
Imas : waktu nyopir mobil lewat, jalan macet yang sedang di perbaiki seorang tukang gali tersenyum padaku dan berkata “ingat ya saudara ditunggu!” aku ingin berhenti menanyakan hal itu, tetapi mobil-mobil yang bererot di belakangku langsung tekan klakson
Imas : ia saudaramu ya ?
Yuki : he! kamu pernah ditabok orang ?
Imas : nggak
Yuki : pernah dibedil jepang ?
Imas : nggak belum lahir!
Yuki : pernah diklocop kepalamu ya ?
Imas : jangan begitu dong !
Yuki : pernah dikilik-kilik ya?
Imas : jangan sadis dong !
Yuki : habis kenapa tanya-tanya.. apa mereka semua itu saudaraku?
Imas : malu ya, punya saudara jadi tukang tiup peluit ?
Yuki : kuingat benar, katanya aku ditunggu!
Imas : malu ya.. punya saudara jadi tukang tiket ?
Yuki : kuyakin ia bilang aku ditunggu
Imas : malu ya, punya saudara jadi tukang gali jalanan ?
Yuki : ia telah menyampaikan kebenaran; aku ditunggu
Imas : ……..ya sudah sana…! Cepat nanti terlambat.


Yuki : tidak paham-paham juga kau! kalau aku ditunggu kau juga ditunggu. Harus. Tidak bisa hanya ada aku. Aku hanya ada kalau kau ada ‘kan? Dan kita ada karena ada yang menunggu … itu akal sehat.
Imas : kamu kenal plato ?
Yuki : tanya itu lagi !
Imas : kenal kong hucu ?
Yuki : itulagi
Imas : kau kenal Gandhi
Yuki : diulang-ulang lagi!
Imas : begini, kalau tidak kenal mereka … kok bisa jadi pintar begitu?
Yuki : ditunggu ya ditunggu tidak ada urusan sama pintar atau bodoh. Seandainya aku pintar dan kau bodoh … ya kita sama saja. Sekarang ini ditunggu. Seandainya aku bodoh dan kau pintar … tapi itu tidak mungkin!
Imas : meskipun tidak mungkin, kita kan ditunggu juga. Itu kan yang mau kau bilang ?
Yuki : begitu, baru pintar namanya

Dibelahan yang lainnya lagi.

Hendra : juga keesokannya lagi.
Omen : mungkin
Hendra : begitu seterusnya
Omen : yang penting adalah
Hendra : sampai ia betul datang
Omen : kau memang tak berperasaan.
Hendra : kita sudah ke sini kemarin
Omen : oh tidak, disitulah kamu keliru.
Hendra : apa yang kita kerjakan kemarin
Omen : apa yang kita perbuat kemarin?
Hendra : terus ?
Omen : kamu yakin waktunya sore hari
Hendra : apa
Omen : waktu kita menunggu
Hendra : Dia bilang hari sabtu. Kupikir begitu.
Omen : Kamu pikir begitu
Hendra : lalu apa kerja kita sekarang?
Omen : diam saja lebih aman
Hendra : kita tunggu dan lihat saja apa nanti dia bilang
Omen : siapa
Hendra : godot
Omen : ide bagus
Hendra : kita tunggu saja sampai kita benar-benar yakin.
Omen : apa sih sesungguhnya yang akan kita tanyakan padanya?
Hendra : entahlah …
Omen : kenapa entah, seharusnya kau sudah mempunyai rencana mau Tanya apa saja.
Hendra : kalau kau mau Tanya apa?
Omen : bagaimana rasanya katak dan kodok.
Hendra : apakah dalam pikiranmu tidak ada lagi yang lain kecuali katak, kodok, kadal, dan binatang menjijikan lainnya. Sudahlah! masalahnya adalah posisi kita sekarang ini … dimana?
Omen : dan posisi Dogot baru kita ketahui, kalau kita tahu posisi kita dimana, begitu kan?
Hendra : kau memang pintar ternyata, nanti dulu, apa kau bisa menggambarkan godot itu … kepalanya botak atau tidak? dahinya monyong atau tidak. Pertama, perutnya buncit atau tidak? kakinya pengkor atau tidak? mulutnya dower atau tidak? kau harus menggambarkannya agar nanti kalau ketemu aku bisa kasih salam “hai godot apa kabar?kami lama sudah menunggu”
Omen : stop! jangan ngawur dong ! lha ya, dan lagi tadi kau tanyakan dahinya macam apa dan mulutnya macam apa. Apa godot itu kau bayangkan sama dengan kita? punya mulut? perut dan sebagainya?
Hendra : kalau tidak punya mulut dan perut … bagaimana bisa makan?
Omen : he tukang makan! jangan menyamakan godot dengan diri sendiri. Tidak tahu ya tidak tahu … tidak kenal ya tidak kenal tidak usah membayangkan yang bukan bukan. Memangnya godot doyang makan katak?


Hendra : akal sehat sajalah ! kalau tidak makan ya tidak hidup
Omen : tidak ada hubungannya dengan makan atau hidup atau apa saja! pokoknya kita harus tepat waktu … mau makan? mau hidup? Terserah!
Hendra :kan sejak tadi bicara tentang godot yang katamu menunggu kita. kenapa begini dan begitu? bagaimana godot bisa menunggu kalau tidak punya perut mulut dan sebagainya.
Omen :Tugas kita menunggu itu saja ! perut; katak, kadal dan bungaeuk. Itu kan urusanmu !
Hendra :apa urusanmu Cuma otak, tak pakai perut! apa godot saudaramu itu tak punya perut … hanya punya otak ? begitu ? kau saudaranya 'kan ? seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jaga tiket, dan tukang gali selokan. Godot itu saudaramu 'kan ? kalau bukan, kenapa kau tutup tutupi …
Omen : sekali lagi bilang ia saudaraku … kuhabisi kau!
Hendra : kalau aku kau habisi? ya alhamdullilah … aku nggak usah menunggu godot.
Omen : siapa bilang begitu ?

Dibelahan dunia lain

Yuki : waktu aku menuruni bukit untuk menemuimu … di lembah juga kudengar suara "jangan lupa kalian ditunggu !" itu tandanya kau juga ditunggu tidak hanya aku.
Imas : tapi kenapa hanya kita berdua ?
Yuki : kok 'hanya'. Kau dan aku ini tidak; hanya
Imas : kok tidak salah satu saja yang ditunggu ?
Yuki : kalau salah satu, nanti tidak ada yang mengingatkan bahwa ada yang menunggu .. dan itu merepotkan
Imas : merepotkan ?
Yuki : ya merepotkan .. yang sedang menunggu harus ada yang merasa ditunggu, agar disebut tidak repot. Memang orang yang tidak merasa ditunggu itu tak saja bikin repot. Untuk apa pula Dogot menunggu merasa kalau kita tidak merasa ditunggu ?
Imas : apa tidak punya kerjaan lain kecuali menunggu? dan kenapa lebih menjadi repot lagi kalau ada yang merasa ditunggu.
Yuki : Dogot itu ada, kalau menunggu. Repot atau tidak repot apa pasalnya? paham?
Imas : kalau tidak usah menunggu saja .. bagaimana?
Yuki : Kalau tidak menunggu, ya Dogot tidak ada. Padahal Dogot harus ada, harus!
Imas : kenapa harus ?
Yuki : karena kita ditunggu
Imas : kenapa ditunggu … tunggu ?
Yuki : ya .. karena ada yang menunggu
Imas : kau ini tak pernah baca buku kok pintar
Yuki : ingat di dunia ini, semua berpasangan; langit-bumi; kiri-kanan; atas- bawah; jauh-dekat; surga-neraka.
Imas : menunggu-ditunggu !
Yuki : tepat! kau mulai paham ..
Imas : kalau yang ditunggu bertemu dengan yang menunggu?
Yuki : tidak boleh! dan tidak mungkin! Mana ada langit ketemu bumi kalau ketemu bukan namanya langit dan bumi lagi tidak berpasangan lagi! kau pikir bisa membayangkan jauh dan dekat bertemu ?
Imas : kau dan aku .. ya harus berpasangan. Harus ada
Yuki : kalau nanti kita ketemu Dogot ?
Imas : siapa bilang kalau kita akan bertemu Dogot ?
Yuki : kau bilang kita ditunggu ?
Imas : ya supaya ada sepasang ditunggu dan menunggu
Yuki : sudah sajalah .. capek juga ditunggu !
Imas : ditunggu kok capek ? yang nunggu saja tidak cape
Yuki : kok tahu ?
Imas : ini bukan pasal tahu atau tidak tahu, Dogot menunggu dan kita ditunggu dan yang ditunggu tidak berhak cape iya ?
Yuki : tak ada yang bilang "aku capek ditunggu" orang bilang "capek menunggu" ya kan? akal sehat
Imas : kau pintar lagi … yang ditunggu tidak ada bilang capek 'kan ?
Yuki : akal sehat
Imas : pasal capek atau tidak capek .. tidak usah dikait-kaitkan dengan akal sehat. Bahkan akal pun tidak ada kaitannya, kau memang suka mengait ngaitkan yang bukan bukan
Yuki : begini … kalau ditunggu tidak berhak capek? menunggu juga tidak berhak capek ?
Imas : ya terserah yang menunggu saja … kau capek ya?
Yuki : lho … tadi nggak ada yang boleh capek? gimana sih ?
Imas : gimana.. gimana?
Yuki : itu … lha yang menunggu? dia boleh capek ?
Imas : begitu ?
Yuki : terserah … hanya saja ingat. Kita tidak boleh capek hanya ditunggu, itu wajib hukumnya!
Imas : kita ini boleh memikirkan macam apa ?
Yuki : ditunggu kok mikir ?


Shuffar : sebelah sini menunggu godot, sedangkan sebelah sana ditunggu dogot. Apakah Dogot dan godot adalah seorang yang sama. Ah aku tidak mengerti. Lebih baik kutanyakan saja. (mendekati imas dan yuki) maas maf…boleh saya numpang Tanya. Kalau kalian berdua ini sedang ditunggu siapa ya?

Imas : siapa anda?
Shufar : hanya pejalan kaki yang tersesat.
Yuki : begini mas… kami berdua ini sedang ditunggu dogot.
Shufar : dogot… siapa dogot?
Yuki : entahlah…
Shufar : apakah dogot mempunyai saudara begitu,
Imas : tidak mungkin! Dogot tidak memiliki ayah-ibu dan keluarga sebagaimana mestinya, memangnya kenapa ?
Shufar : di seberang hutan ini, tidak jauh dari sini ada dua orang yang menunggu godot. Nah saya Tanya apakah dogot dan godot mempunyai hubungan?
Yuki : di sebelah mana kakek tua.
Shufar : mari saya antarkan…

Yuki, imas dan shufar pergi menuju hendra dan omen.

Hendra : lihat ada orang yang datang kesini, mungkin mereka membawa pesan tentang godot.
Omen : jangan terlalu berharap. Mungkin mereka tersesat.
Shufar : perkenalkan diri saya adalah pengembara, maaf secara tidak sengaja saya memperhatikan kalian berempat sedang menunggu dan ditunggu di tempat yang bebeda. Mungkin yang kalian tunggu itu orang yang sama.
Omen : orang? Memang siapa yang mereka tunggu?
Yuki : kamis sedang menunggu dogot.
Hendra : dogot? Bukankah namanya godot?
Imas : godot? Siapa godot?
Shufar : saya jadi bingung. Kalian ditunggu oleh dogot (menunjuk ke yuki dan imas) sedangkan kalian menunggu godot. Apakah dogot dan godot, orang yang sama.
Yuki : orang? Kenapa kau sebut orang?
Shufar : kalau bukan orang siapa yang kau tunggu?
Hendra : kami menunggu godot.
Shufar : saya jadi bingung.
Omen : saya juga.
Shufar : begini saja, bagaimana kalau kita sama-sama menunggu dan ditunggu disini, bagaimana?
Omen : Saya setuju,
Shufar : Bagaimana kamu?(ke hendra)
Omen : dia terserah saya.
Shufar : dan kalian berdua, bagaimana?
Yuki : (sembari melihat imas) boleh.

Musik fade out.



Tamat

0 komentar:

Posting Komentar