Riwayat Ibrahim



SATU

Sudah hampir sepuluh tahun Ibrahim menarik becak. Sebelum menarik becak Ibrahim pernah menjadi buruh di sebuah pabrik tekstil, tetapi karena pada waktu itu kondisi ekonomi negeri ini di serang oleh krisis moneter dan Ibrahim pun kena imbasnya. Dia di PHK, dengan alasan penyusutan tenaga kerja kemudian Ibrahim “ditendang” dengan pesangon seadanya.

Setelah di PHK Ibrahim berusaha mencari sandaran kehidupannya yang lain. Tetapi dikarenakan ijazahnya hanya sampai SMA dan terkungkung oleh usia akhirnya Ibrahim tidak bisa melamar kemana-mana.

Jadilah Ibrahim sebagai seorang yang terus meringkuk selama satu bulan di rumahnya.

Pada minggu pertama, istrinya Siti tidak ngomel sebab kebutuhan sehari-harinya masih bisa terpenuhi. Minggu kedua Siti masih bisa memahami Ibrahim yang kebingungan setelah di PHK. Baru minggu ketiga dan keempat Siti angkat bicara karena tak tahan melihat kelakuan Ibrahim yang kerjaannya cuma tidur, makan, melamun dan tidur lagi.

“pak cari kerja gitu, kemana kek!? Jangan tidur saja kayak kebo! Uang pesangon dari pabrik sudah mulai habis. Ismail minta SPP, dua bulan nunggak. Beras habis, kita mau makan apa?”

Ibrahim yang mendapat omelan istrinya, malah semakin menenggelamkan kepalanya ke bawah kasur. Pikirannya buntu. Bantal dan guling kemudian dengan setia membantu Ibrahim dengan diam.

“waduh bu, mau cari kerja kemana, sekarang cari kerjaan susah!?”
“ya susah pak?! Kalau carinya hanya di sekitar kasur, paling bakal nambah anak lagi, bapak mau? Buat memenuhi kebutuhan anak satu saja sudah bingung, apalagi ini mau nambah?”
“wah bagus dong bu kalau nambah anak lagi, berarti kita di percaya sama gusti Allah buat ngurus makhluknya”
“ngawur!?”
“lho betul kan bu? Nabi Ibrahim saja susahnya minta ampun kepengen anak”
“Ibrahim itu kan nabi, bukan Ibrahim seperti bapak ini, yang kerjaannya cuma tidur saja, emang kebutuhan hidup bisa terpenuhi dengan tidur?”
“ya itu bu!? Bapak juga pengen tahu? Kalau bisa, ‘kan bapak gak usah bingung-bingung buat cari kerja”

Siti cemberut.

“bapak ini kebanyakan tidur jadi omongannya ngaco”

Ibrahim tercenung, hanyut kembali dalam lamunan. Melihat keadaan suaminya yang demikian Siti kembali murka.

“wuh.. kebiasaan! Pokoknya minggu depan beras harus sudah ada. Sekarang ibu mau jual beras buat bayar SPP si Mail”
“lo kok dijual bu? nanti kita makan apa”
“ah nggak mau tahu! Siti nggak mau si Mail tidak pergi sekolah karena malu belum bayar SPP, bagaimana pun keadaannya Siti lebih mementingkan pendidikan si Mail”
Siti keluar. Ibrahim tersentak dengan ucapannya istrinya.

DUA

Siti dan Ibrahim sama-sama hanya lulusan SMA. Sebelum menikah dan punya anak, mereka berdua sudah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya kelak, apapun yang terjadi. Karena mereka berdua tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang “kekurangan” pendidikan, menjadi kuli kasar, dibodohi dan diremehkan. Intinya mereka berdua tidak mau anaknya mengalami nasib yang serupa dengan kedua orang tuanya, menjadi pembantu, buruh pabrik, menjual sayuran dan pekerjaan kasar lainnya.

Setelah mendapat ceramah dari istrinya dan hutang yang menumpuk di warung, Ibrahim mulai mau keluar rumah dengan niat mencari kerja.

Tetapi delapan puluh persen niat Ibrahim itu, sebenarnya selain untuk mencari kerja, adalah untuk menghindari omelan Siti, istrinya.

“perempuan memang selalu mengeluarkan pertanyaan dan pernyataan konyol, Huh…” pikir Ibrahim,

Sebulan nganggur, tidak melakukan aktivitas apa-apa, membuat pikiran Ibrahim bernafsu untuk memikirkan kehidupannya. Ibrahim mulai bisa memikirkan tetek bengek yang dahulu tak penah dipikirkannya.

Kegiatan barunya ini dimulai semenjak dia di PHK.

Jadi, sebenarnya tidak seperti yang ditudingkan oleh istrinya, selepas di PHK Ibrahim langsung memikirkan celah pekerjaan lain untuknya. Akan tetapi kemudian mentok.

Tak ada teman yang bisa dijadikan andalan, semua kerabat yang dikenalnya tidak ada yang menjadi orang penting; Hermawan tukang dagang sayur, Sukiman kernet angkot, Miftah tukang becak teman yang paling tinggi tingkat kehidupannya hanya Sukriadi seorang guru SD sekaligus ketua RT.

Akan tetapi setelah Ibrahim melihat langsung bagaimana kehidupan Sukriadi, Ibrahim urung meminta pertolongan kepadanya.

“wah.. ngurus keluarganya saja sudah sulit apalagi menolong saya. Gajinya sudah min, hutangnya ada dimana-mana. Kalau begini mendingan saya, hutang saya hanya sebatas di warung tidak sampai ke bank”


***

Pada suatu kesempatan, setelah capek pergi kesana-kemari, ceritanya mencari kerja. Ibrahim istirahat di sebuah mesjid, kebetulan saat itu di dalam mesjid sedang ada pengajian, selepas sholat Ibrahim ngaso di teras mesjid.

Pikiran Ibrahim kosong, pandangannya lurus ke jalan. Tak disengaja kemudian Ibrahim mendengar sayup-sayup ustadz yang sedang berceramah di dalam mesjid.

“jadi ibu-ibu… tidak usah khawatir soal rezeki, segalanya sudah diatur olehNya. Allah tidak akan salah memberikan rezeki kepada makhlukNya. Allah tidak akan menelantarkan makhlukNya. Setiap makhluk sudah Allah anggarkan perincian rezekinya, di sana, ..di lauhil Mahfudz..”

Buntu dengan segala kemungkinan yang dipikirkannya, ketika mendengar perkataan ustadz ini sontak Ibrahim mendapat pencerahan.

Dengan polos Ibrahim langsung berdoa,

“ya Allah, kalaulah perkataan ustadz itu benar maka saya akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kalau tidak, berarti ustadz itu bohong”.

Dengan ceria Ibrahim pulang ke rumah, wajahnya bersinar seakan telah mendapatkan pekerjaan. Sampai di rumah, istrinya merasa aneh melihat Ibrahim yang sangat ceria, berbeda dari biasanya yang selalu cemberut.

“ceria begini, sudah dapatkan pekerjaan..?” tanya Siti datar.
“sudah..” jawab Ibrahim sembari menggoda.
“siapa yang beri pekerjaan?”

Ibrahim tak menjawab.

“kerjaannya apa?”

Ibrahim masih diam.

“bapak ini, ditanya kok diam, siapa yang beri pekerjaan, kerjaannya apa, ‘kan Siti juga mau tahu pak?”
“ada bu, nanti Allah yang akan beri pekerjaan” jawab Ibrahim enteng.

Mendapat jawaban ini Siti tak bisa bertanya apa-apa lagi, hati Siti luluh. Lama terdiam kemudian Siti menyuruh Ibrahim untuk mandi dan makan karena Ibrahim kelihatan sangat lusuh dan capek.

TIGA

Selama dua minggu Ibrahim pontang-panting mencari pekerjaan, akhirnya Ibrahim mendapatkan “janji ustadz” itu dengan menjadi kuli bangunan untuk sebuah perusahaan yang hendak membangun supermarket.

Selepas seminggu bekerja, nasib naas kembali menimpa Ibrahim, ia jatuh dari lantai ketiga. Tak ada luka yang serius. Tetapi Ibrahim mesti kehilangan pekerjaannya. Ibrahim kembali diberhentikan oleh pihak perusahaan, sebab pihak perusahaan tak mau memperkerjakan orang yang sakit.

Untuk menghindari citra buruk, perusahaaan memberi tunjangan kecelakaan, gaji selama seminggu dan “uang sungkawa” yang lumayan cukup besar.

Dengan kejadian ini Ibrahim kembali meringkuk di kamarnya selama kurang lebih dua minggu. Istirahat total. Siti tak terlalu banyak ngomel dan komentar melihat Ibrahim.
Bagi Siti, yang paling penting adalah kebutuhan sehari-harinya masih bisa terpenuhi.

***

Pada suatu pagi Ibrahim bertanya kepada istrinya.
“bu kalau uang dari perusahan kontraktror masih ada”.
Siti tak lekas menjawab, mendapat kecurigaan seperti ini Ibrahim lantas melanjutkan.

“bukan apa-apa bu, daripada habis gak karuan. Bapak berniat membeli becak, ya kalau tidak cukup buat beli, minimal bisa buat bayar uang muka. Sembari mencari pekerjaan lain, ‘kan bapak bisa narik becak?”

Wajah Siti berubah setelah mendapat penjelasan dari Ibrahim

“ya sudah, tetapi sisain buat bekal SPP si Mail. Emang mau nyicil becak dari siapa?”
“si Samin, dia sudah punya becak yang baru, bapak lihat lumayan juga penghasilan dari menarik becak. Daripada uangnya dipakai nyogok buat masuk pabrik, itu juga masih belum cukup, benar ‘kan bu?”

Siti mengangguk penuh pengertian.

EMPAT

Begitulah ceritanya bagaimana Ibrahim akhirnya terpaksa memilih jalan hidupnya sebagai tukang becak.

Asalnya menarik becak hanya sebatas momen untuk menunggu pekerjaan lain yang lebih layak, tapi ternyata pekerjaan yang ditunggu itu tak kunjung jua datang.

Menunggu memang adalah pekerjaan yang paling menyedihkan.

Dari pada menunggu yang belum pasti maka Ibrahim makin memantapkan dirinya sebagai penarik becak.

Sekarang cicilan becak telah lunas. Beban Ibrahim sedikit berkurang. Penghasilan dari menarik becak seluruhnya Ibrahim bawa pulang dan langsung di serahkan kepada Siti..

“pak, meski kita miskin, Siti mau kita berusaha menyekolahkan si Mail sampai perkuliahan. Siti nggak mau nasibnya melarat seperti kita”

Ibrahim memeluk Siti dan menenggelamkan wajahnya ke dadanya. Mata Ibrahim berkaca-kaca mendengar perkataan istrinya itu. Malam melarutkan tirai kegelapan yang membentang ke ujung samudera. Sementara langit mendengar bisu harapan kedua insan ini.

LIMA

“narik mang?”
“ya, mau kemana pak?”

Bapak itu kemudian menunjukkan alamat. Dengan tangkas Ibrahim menggenjot becak.

“ke mesjid Al Hidayah ya mang” titah bapak itu, kepada Ibrahim.

Pada awalnya Ibrahim kurang mengetahui letak mesjid Al Hidayah itu, tetapi karena si bapak itu menyebutkan dekat pabrik tahu Ibrahim langsung hapal.

Ternyata mesjid yang bapak tadi maksudkan adalah mesjid yang sama ketika Ibrahim mendapat pencerahan tentang kebingungan rezekinya. Ibrahim baru tahu sekarang kalau nama mesjid itu Al Hidayah.
Selama ini Ibrahim hanya mengetahui mesjid itu dengan identitas “mesjid yang dekat pabrik tahu”.
Sesampainya di tempat yang di maksud, Ibrahim menatap mesjid itu,
“sepuluh tahun telah berlalu, tak ada yang berubah” gumam Ibrahim.

“mang tunggu disini ya, saya mau ke dalam dulu”.

Ibrahim menggaguk, kemudian duduk menunggu di teras mesjid, persis seperti sepuluh tahun silam.
Bedanya kalau dulu Ibrahim sedang bingung mencari pekerjaan, sebagai pengangguran kini Ibrahim sudah bekerja, sebagai tukang beca.
Siapa sangka, seperti dulu, pada saat itu juga ternyata di dalam mesjid sedang ada pengajian.
Ibrahim tersenyum, mengingat masa lalu.

“kita harus belajar kepada Ibrahim… tentang ketabahannya.. keimanannya.. dan kekuatannya menghadapi segala cobaan” sayup-sayup Ibrahim mendengar perkataan ustadz yang berada di dalam mesjid.
Tidak begitu lama, bapak tadi yang menaiki beca Ibrahim datang “yu mang.. ke jalan peta nomor 74 ya..”

ENAM

Hari menjelang sore, Ibrahim memarkirkan becaknya. Masuk ke sebuah mesjid yang tak dikenalnya, dia hanya mampir untuk melaksanakan sholat dan membersihkan tubuhnya.

“sudah jam delapan malam, mungkin sebaiknya saya pulang..” pikir Ibrahim
“tapi, penghasilanku belum cukup untuk dibawa pulang. Sepertinya saya harus mencoba satu jam lagi setelah selesai sholat”

Satu jam terakhir yang dijadwalkannya tidak menghasilkan apa-apa, hanya malam yang semakin larut dan kondisi semakin gelap. Tubuh Ibrahim sudah mulai terlihat gontai. Dia menggenjot becak dengan tenaga sisanya.
Jam setengah sembilan, tiga puluh menit lebih awal seperti yang direncanakannya Ibrahim berniat langsung pulang. Malam semakin dingin. Ibrahim tertatih-tatih mengemudikan becaknya.
Matanya melihat samar-samar cahaya dari kejauhan. Mata Ibrahim menjadi remang, pandangannya menjadi tidak jelas. Cahaya itu semakin menebal dan berubah menjadi gumpalan sinar yang semakin besar. Mata Ibrahim silau dengan cahaya yang mulai menubruk-nubruk retina.
Cahaya itu mendekati Ibrahim disertai dengan sebuah pukulan yang sangat besar. Tak lama kemudian Ibrahim merasakan sesak di dadanya. Dia terjatuh. Terjungkal dan tidak ingat apa-apa lagi.

TUJUH

Ketika membuka mata, Ibrahim telah berada di rumahnya, ia menatap sekeliling untuk memastikan anggapannya. Di sampingnya Siti, istrinya sedang merapihkan baju Ismail.

“Ti…” tanya Ibrahim
“ya pak..” jawab Siti sambil mendekati Ibrahim, kemudian berkata
“udah jangan bangun dulu, bapak mesti banyak istirahat,”

Ibrahim masih kebingungan, linglung. Melihat kondisi suaminya yang sangat mengkhawatirkan, Siti lantas menjelaskan semua yang terjadi.

“becak bapak keserempet mobil. Bapak sendiri terjungkal dan terbentur aspal hingga pingsan. Bapak diantarkan oleh orang yang menyerempet itu”
“Lalu becak bapak dimana?”
“rusak tertabrak sama truk, sekarang ada di si Samin. Pemilik mobil yang menyerempet bapak kemarin sudah datang meminta maaf dan memberi uang ganti rugi seadanya. Sekarang istirahat saja dulu, mikirin becaknya nanti saja. Siti mau ke pasar dulu, ada barang dagangan dari Wahinah, lumayan buat nambah-nambah keperluan sehari-hari, bapak ‘kan belum bisa bekerja.”

Siti keluar. Air mata Ibrahim menetes tanpa dikomando. Pandangan Ibrahim tertuju ke langit-langit rumah biliknya. Air mata Ibrahim berubah menjadi uraian sungkawa, menjadi jeritan nurani yang pedih diantara yang paling perih, sayatan nasib sangat terasa sekali di dada Ibrahim.

Terlintas dalam pikiran Ibrahim perkataan ustadz yang ada di mesjid Al Hidayah.

“kita harus belajar kepada Ibrahim… tentang ketabahannya.. keimanannya.. dan kekuatannya menghadapi segala cobaan”

…..


“nampaknya, saya harus mencari ustadz itu” tekad Ibrahim.





0 komentar:

Posting Komentar