“Mengadili Politik”





Dalam stuktur kehidupan yang paling besar yakni kebudayaan, politik adalah salah satu struktur kecil saja. Di dalam jangkar besar kebudayaan ini politik tidak berdiri sendiri. Ia berada di antara struktur kehidupan lainnya seperti—sains-teknologi (sistem peralatan hidup), agama (sistem kepercayaan), politik (sistem aturan), ekonomi (sistem mata pencaharian hidup), bahasa, kesenian, tradisi—yang satu sama lain saling berkait, tumpang-tindih, berjalin-berkelindan, saling memberi, saling mempengaruhi serta saling membentuk.



Oleh karena itu, aktivitas politik sesungguhnya memiliki prinsip dasar dari kebudayaan, yakni kecendikiaan, kemaslahatan, kebebasan berpikir, kebijaksanaan, keadaban, kesejahteraan dan itikad untuk lebih maju atau menjadi lebih baik dari pada sebelumnya.

Dengan jalan pikiran seperti ini maka sudah dapat dipastikan bahwa segala aktivitas dan peristiwa politik—yang dalam skema besarnya mencakup kebijakan-kebijakan politis, kepartaian, hubungan politis antara satu daerah dengan daerah lain, dengan pusat pemerintahan bahkan hubungan politik internasional—adalah sebuah jalan untuk menegakkan kebudayaan, kemaslahatan dan kemanusiaan.

Struktur besar kebudayaan ini, yang terdiri dari beberapa struktur dan salah satunya adalah struktur politik, sekaligus menjelaskan bahwa dalam melihat kehidupan itu tidaklah mungkin dari satu sudut kepentingan saja. Misalnya pemilihan gubernur Jabar yang beberapa waktu kedepan akan dilaksanakan, menurut budayawan Herry Dim, tidak bermakna semata-mata sebagai suksesi politik atau proses peralihan sistem kemasyarakatan, melainkan salah satu dari keseluruhan sistem kebudayaan. (PR 2/2/08)

Sebab jika salah satu struktur kebudayaan saja yang membesar, selanjutnya Herry Dim mengatakan, akan mengakibatkan disharmoni yakni satu kondisi yang tidak berimbang, tidak stabil. Artinya pembesaran itu bukanlah konstruktif terhadap yang lain melainkan bersifat destruktif terhadap bentuk keseluruhan bahkan destruktif bagi dirinya sendiri. Misalnya, pada masa pemerintahan Orde Baru terjadi pembesaran ambisi pembangunan (ekonomi) dengan mereduksi bahkan mendestruksi pola demokrasi (politik).

Namun celakanya, politik tidak memiliki citra sebagus yang kita kira, terlampau sering kita mendengar kabar buruk dari “politik”—pejabat yang melacurkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan sendiri sampai janji-janji (moralitas) yang tak kunjung terpenuhi—sehingga kadangkala sebagian dari kita (baca; masyarakat awam) nyinyir bahkan muak mendengar hal ihwal politik.

Hal demikian tidak salah karena, menurut Amien Rais, aktor atau pelaku politik (politikus) di negara kita selalu bergulat sekitar pertanyaan; saya mendapatkan jabatan atau kekuasaan apa dan bagaimana cara mendapatkannya. Tetapi jarang ditanyakan kenapa mesti mendapatkan jabatan atau kekuasaan itu? Dan kalaupun pertanyaan ini dijawab, paling banter jawabannya masih seputar keuntungan material!

Lagi-lagi untuk ilustrasi sederhana adalah peristiwa demokrasi yang sebentar lagi akan kita jelang yakni pemilihan kepala daerah atau gubernur. Tentunya segala cara dilakukan oleh tim suksesi tiap cagub-cawagub yang bersangkutan untuk memobilisasi publik mulai dengan mengkaji afeksi sosial masyarakat, efek-efek psikologi individual hingga rasionalisasi pusat perhatian pemilih. Studi-studi terhadap itu semua pada gilirannya nanti akan menjadi bahan-bahan pertimbangan kampanye politik dan mengkerucut kepada modus-modus pola rancangan propaganda yang kemudian diwajahkan sebagai bentuk platform.

Platform itu nantinya termanifestasikan dalam bentuk formal seperti visi misi atau non-formal seperti slogan (singkatan nama calon misalnya SBY-JK atau yang sekarang Dai, Aman, Hade) propaganda, atau apapun yang bisa menarik perhatian masyarakat untuk memilihnya.

Segala upaya kampanye itu memerlukan dana bukan? Kabar buruk lain yang datang dari politik adalah, kebanyakan dari calon yang telah terpilih pertama kali yang mereka pikirkan adalah; pertama, bagaimana caranya untuk mengembalikan dana kampanye yang telah mereka keluarkan; kedua, bagaimana caranya mendapatkan keuntungan dari posisinya itu untuk dirinya dan keluarga; ketiga, untuk kelompok-kelompok yang mendukungnya; keempat, masih memikirkan untuk kelompok (karena kelompok yang mendukungnya masih banyak); kelima, masih untuk kelompok (belum habis). Ketika hendak memikirkan untuk kesejahteraan rakyat luas, jabatannya sudah diganti oleh orang lain yang mempunyai pikiran sama. Demikianlah gambaran interaksi politik dalam perputaran kepemimpinan menurut sosiolog Vilfredo Pareto dalam teorinya tentang the fox and the lions.

Lantas apakah tak ada harapan lagi dalam setiap peristiwa politik? Sudah hilangkah akal, budi dan nurani seseorang ketika menjalankan aktivitas politik? Habiskah stok pemimpin yang benar-benar memimpin? Jawabannya tidak, ungkap Herry Dim. Manakala peristiwa politik tidak ada hitung-hitungan kalah atau menang, yang ada hanyalah perhitungan hadir atau alpa dalam hal kemanusiaan.

Dalam kondisi seperti inilah elemen muda—yang sering dimotori oleh mahasiswa—seharusnya menjadi “nabi” yang terus mengingatkan pelaku politik manakala melenceng dari “khittah” makna politik sesungguhnya yakni kemaslahatan, kesejahteraan, keadaban dan kemanusiaan. Bukan malah “euyah-euyahan” di dalamnya—seperti yang digambarkan dalam pepatah sunda—siga lauk buruk milu mijah. Semoga tidak! Wallahu ‘alam bis showab.

Penulis adalah bukan penggiat Politik

0 komentar:

Posting Komentar